1

129 50 14
                                    

Sinar mentari pagi masuk melalui celah gorden yang tidak tertutup sempurna, gadis itu menggeliat sambil mengerjapkan mata agar terbuka sempurna. Ia berjalan gontai memegang dinding beton kamarnya menuju sebuah jendela besar di sisi kiri sebelah meja rias, perlahan ia membuka gordennya dan melihat seorang remaja pria yang tengah memarkirkan sepedanya di teras rumah. Tirta melihat kearah nakas, jam digital itu menunjukkan angka 06.15, masih pagi. Seperti biasa, lelaki itu selalu saja datang terlalu pagi untuk menjemputnya.

Buru-buru ia masuk kedalam kamar mandi untuk melaksanakan ritual pagi. Tak butuh waktu lama, gadis itu sudah keluar lengkap dengan seragam sekolahnya

"An, kamu sudah sarapan?"

"Nanti aja disekolah, Tan"

"Ini bekal udah tante siapin, nanti kamu makan sama Tirta ya"

"Hem"

Tirta mendengar percakapan singkat pagi ini antara Anta dan mamanya, Anta memang sudah dianggap anak sendiri oleh mamanya semenjak wanita itu tau kehidupan keras yang dilalui Anta seorang diri. Tirta tidak komplen tentang itu, toh cepat atau lambat, Anta akan menjadi anak mama seutuhnya, anak menantu.

"Yuk, An" ajakku sambil menarik tangan kelaki itu, mama sempat mengomel karna setiap pagi aku tak pernah mau sarapan dengan alasan yang selalu sama, takut terlambat. Sebenarnya aku tak takut terlambat, aku hanya takut Anta yang terlambat, mengingat ia merupakan anak beasiswa. Tak mungkin anak beasiswa membuat ulah disekolah. Benarkan?

"Ta, nanti sore aku mau nemuin pak Bas dikantor sehabis pulang sekolah" ucap Anta sambil mendayuh pegal sepedanya

"Ngapain?"

"Bahas tentang beasiswa"

Aku mengangguk, pak Bas adalah kepala sekolah di SMA tempat kami menimba ilmu, mungkin pak Bas ingin merekomendasikan beberapa universitas dengan beasiswa yang dapat diambil oleh Anta, mengingat saat ini kami tengah menduduki kelas 12 semester akhir. Sebagai siswa yang meraih juara umum berturut-turut dari tahun pertama, tentu tak sulit untuk Anta masuk ke beberapa universitas yang bagus dengan kepandaiannya

Aku merasakan tanganku yang dijatuhi beberapa butir air, aku mendongak kan kepala, ternyata keringat Anta. "An, kenapa kita nggak pakek mobil aja" tanyaku untuk yang kesekian kali

Anta menggeleng pelan sambil tersenyum "aku nggak mau pakek barang-barang kamu, nanti dikira manfaatin lagi" ujarnya sambil terkekeh

Begitulah Anta, selalu memiliki cara untuk menolak semua kemudahan yang ditawarkan oleh keluarga Tirta.

Sesampainya di sekolah, mereka langsung masuk ke kelas 12 mipa 3, lalu duduk dibangku pojok sisi kiri paling belakang, mereka selalu bersama bahkan duduk pun tak terpisah. Sempat beberapa kali guru meminta agar Anta dipindahkan ke bangku paling depan tetapi ia menolak karena melihat Tirta yang ingin menangis

"Ta, tugas fisika kamu udah selesai" Riva tertengah-engah karena berlari menyusuri koridor. Kebiasaan Riva yang setiap pagi selalu bertanya tugas.

"Emang hari ini ada Fisika?" Tanya gadis itu dengan wajah tak berdosa

Anta menggeleng-gelengkan kepalanya bingung, hampir setahun gadis itu berada di kelas 12, namun masih belum hapal dengan jadwal pelajaran?

"Aww" Tirta mengaduh saat Anta menonyor kepala nya gemas, gadis itu memanyunkan bibirnya

"Ann" Tirta menjawil pipi Anta

Tidak mendapat respon apapun, gadis itu kembali menjawil lengan lelaki itu, "apaan?" Tanya Anta pura-pura tak tahu

"Pinjam buku PR kamu dong" pintanya sambil menampakan deretan giginya

Sudah biasa bagi Anta, hampir setiap tugas yang diberikan untuk pekerjaan rumah selalu saja dikerjakan disekolah sebelum kumpul oleh gadis itu, dasar Tirta malas!

-

Anta keluar dari ruangan kepala sekolah dengan wajah yang sumringah, ia berjalan mendekat kearah kursi kayu tepat dibawah pohon besar sisi perpustakaan. Ia mengatur wajahnya agar tidak terlalu kentara bahwa ia sedang bahagia "Ta, ayo balik"

Gadis itu menoleh lalu mengangguk, namun beberapa saat ia memperhatikan dengan seksama wajah sang lelaki yang berada disebelahnya "seneng banget kayaknya"

"Emang kentara banget ya, Ta?"

"Ya iyalah" jawabnya sewot, "emang habis bahas apaan sama pak Bas?" Lanjutnya lagi

Sejenak Anta menampilkan deretan gigi putihnya, membuat kadar ketampanannya bertambah menjadi 25 persen dan tentu membuat Tirta menjadi sangat sangat jatuh cinta

"Pak Bas bilang, aku dapat beasiswa di universitas negeri yang ada di Bogor" jawabnya semangat

Deg..
Jantung nya berpacu ketika Anta menyebut kata Bogor. Ia tak berpikir bahwa Anta akan pergi jauh untuk melanjutkan studinya sampai keluar kota. Sebagai orang yang mencintainya, tentu Ia bahagia melihat kesuksesan Anta, tapi munafik jika dia bilang bahwa akan baik-baik saja. Selama ini Ia selalu bergantung pada Anta, dalam hal apapun. Tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya akan berlalu tanpa sosok Anta

"Bagus, An" jawabnya dengan sendu

'Ini yang kutakutkan, An. Ketika kau mulai dewasa, kau akan disibukkan dengan berbagai hal. Aku takut jika nanti kau tinggalkan, aku tidak suka sendirian, An. Aku benci jika nanti kau melupakanku, An'

Selama mengayuh sepedanya, Anta bercerita banyak tentang masa depannya dan rencana-rencana yang telah ia susun sejak kecil. Tirta mendengarkan dengan seksama seperti biasa. Ia jadi tak tega jika harus menentang keputusan Anta untuk pergi ke Bogor. Hanya ada satu cara agar mereka tetap bisa bersama.

ANTA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang