8

82 28 9
                                    

"Paris?" Pekik Tirta dengan wajah tampak kaget

"Iya, Ta" Anta masih memeluk Tirta dengan wajah yang masih memancarkan kebahagiaan.

Setelah seminggu ia berpikir, ini saatnya waktu yang pas untuk memberitahukan kepada Tirta tentang beasiswa yang telah ia raih. Ia pikir Tirta akan senang dan bangga dengan keberhasilannya.

Tanpa ia sadari, Tirta menjatuhkan tetes demi tetes air bening dari kelopak matanya yang sudah tak mampu ia tahan

Paris? Luar negeri?
Ia kacau. Ia takut ditinggal pergi oleh lelaki itu.

"Bukannya bogor?" Tanya Tirta menuntut, masih dalam pelukan Anta.

Ia pikir, Anta akan melanjutkan studi di Bogor seperti yang ia rencanakan dengan pak Bas beberapa saat lalu. Bahkan tanpa Anta tau, Tirta sudah meminta izin kepada orang tuanya untuk mengikuti jejak Anta yang katanya akan kuliah di Bogor.

Dengan cepat Tirta menghapus jejak air mata dipipinya saat merasa Anta akan melepas pelukannya

"Pilihannya ada dua, Ta. Bogor dan Paris" Ia masih tersenyum bahagia. "Tapi setelah aku pikir lagi, aku akan mengambil beasiswa yang ada di Paris. Luar negeri Ta" lanjutnya lagi dengan menekan kata 'Luar negeri'. Kemudian wajahnya berubah sedikit sendu, "Kamu tahu, Ta. Aku ingin jadi orang sukses. Aku ingin bekerja di perusahaan besar, dan ini kesempatan emas, Ta" Ia menatap dalam manik mata Tirta.

"Kalo aku menjadi lulusan luar negeri, aku bisa dengan mudah bekerja di perusahaan besar, Ta. Lulusan luar negeri enggak akan disepelehin di Indonesia" lanjutnya lagi.

Mendengar penjelasaan Anta barusan, Tirta bungkam. Tak ada alasan kuat untuk menahan Anta agar tetap di Indonesia, bersamanya. Akan sangat egois jika Tirta menahan lelaki itu dan menghancurkan mimpi-mimpi besarnya.

Anta dapat melihat ada raut tak rela dari wajah gadis itu "Kamu tenang aja Ta, itu enggak akan lama jika kita menjalankannya dengan sabar dan serius" ucapnya sambil mengelus sebelah pipi Tirta, "Aku bakal usaha-in buat pulang ke Indonesia setiap tahunnya" ujarnya meyakinkan Tirta.

Tirta diam dengan segala macam pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya. Setiap tahun katanya? Bahkan ia tak tahu akan seperti apa hidupnya jika satu minggu saja tak bertemu Anta.  Hati tirta meronta, menangis sekeras-kerasnya. Ia menolak keras keputusan Anta.

"Oke, kalo itu sudah menjadi keputusan kamu, An" jawabnya sendu

"Makasih, Ta" Anta memeluk tubuh ramping Tirta. Wanita itu balas memeluknya dengan erat, berharap pelukan ini akan dapat meluluhkan Anta untuk tetap bersamanya. Namun percuma, semua orang tahu seorang Anta tidak akan pernah goyah jika menyangkut tentang masa depannya. Tidak ada yang bisa menahannya, baik Tirta sekalipun.

Keindahan senja dipantai, serta ombak yang bergemuruh dan angin yang berhembus kencang membuat beberapa helai rambut Tirta yang tak terikat melayang sesuai arah angin menemani Tirta yang keadaan hatinya tengah dilanda ketakutan besar serta tak lupa pula pasir putih yang sedang mereka pijaki saat ini menjadi saksi bisu tentang sepasang anak Adam yang sebentar lagi akan dipisahkan oleh jarak. Tirta menangis.

'An, kalo kamu sukses nanti, kamu jangan lupa sama aku'

'Iya, enggak Ta. Aku akan tetap datang ke kamu kalo udah sukses'

'Janji?'

'Iya, Ta. Janji'

Tirta tersenyum getir kala sepotong ingatan berputar dikepalanya. Sebuah janji yang pernah diucapkan oleh Anta saat mereka berada di bangku SMP, tepatnya 3 tahun yang lalu.

'An, aku harap kamu menepati janjimu' bantinnya. Tirta kembali menangis dipelukan Anta

Pukul 5 sore Anta mengantar pulang Tirta tepat ke depan pintu rumahnya. Sebelum ia benar-benar pergi dari pekarangan rumah gadis itu, ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sesuatu.

Stiker Mahkota.

"Untuk apa, An?" Tanya Tirta saat melihat sebuah stiker yang diarah kan ke dirinya

Anta tersenyum, ia kembali menyodorkan stiker tersebut agar Tirta mengambilnya, "Aku tadi lihat stiker itu di toko, aku pikir itu cocok buat kamu, Ta. Karena kamu, ratu"

Tirta tersenyum, lalu mengambil stiker itu dan menggenggamnya erat.

Dari Anta, jangan sampai hilang!

Anta menatap wajah Tirta sejenak "Ta, aku pulang. Assalamu'alaikum" kemudian ia melenggang pergi dari pekarangan rumah Tirta setelah mengucapkan salam

"Waalaikumussalam"

Tirta menatap punggung belakang Anta, melihat kepergian lelaki itu. Setelah Anta benar-benar menghilang dari pandangannya, Tirta menangis lagi.

'An, aku takut kesepian'



An, aku juga takut kesepian hehe😁

Maaf ya kalo ceritanya masih banyak yang salah🙏

Saya ucapkan terimakasih banyak kepada kalian semua yang masih membaca cerita saya dan memberi vote untuk mendukung cerita saya❤

Kalian luas biasaaa🙏❤

Wassalamu'alaikum🙏

ANTA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang