26

6 1 0
                                    

Setelah mendapat telepon dari Hana, Tirta langsung melakukan penerbangan untuk pulang ke kota kelahiran. Tidak hanya Tirta, Riva dan Adit juga ikut.

Mereka menaiki taksi dari bandara untuk pergi ke rumah sakit Gading Medika.

Tirta sedari tadi hanya menangis dan menggenggam ponselnya gemetar, Riva beberapa kali mengusap punggung Tirta untuk menenangkan, tapi sepertinya itu tak berhasil. Karna gadis itu tetap saja menangis.

Sampai di depan gedung rumah sakit, Tirta langsung membuka pintu dan berlari meninggalkan kedua temannya. Cepat-cepat Riva dan Adit menyusul.

Tirta berjalan di lorong rumah sakit. Dari jarak beberapa meter, netra mata nya bisa menangkap dua wanita paruh baya yang sedang menangis sesegukan di kursi tunggu, sedangkan ada seorang pria paruh baya yang berdiri di depan pintu ruangan.

Tirta langsung berjalan cepat menemui wanita itu. Begitu sudah sampai, Tirta memeluk tubuh rengkuh itu. "Mah," lirih nya pelan.

Wanita itu kembali memeluk putri semata wayang nya. Mengelus punggung gadis itu.

"Ayah.. udah gak ada." Ucap Hana masih dengan mengelus punggung Tirta.

Tirta menangis, kini lebih histeris. "Kenapa gak ada yang kasih tau Tirta kalau papa sakit?" Tanya nya menuntut.

Mendengar itu, Hana kembali menangis. "Ini semua salah mama, Ta. Salah mama yang gak tau kalo papa kamu sakit," ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Ini semua salah mama, Ta." Ia memberi jeda, "Papa sakit Leukimia, dan mama enggak tahu itu."

Tirta langsung diam, kemudian menarik tubuh Hana kedalam dekapannya, "Ini bukan salah mama, ini udah takdir, Ma."

"Maafin mama, Ta." Hana masih menangis. Ia meresa bersalah karena tidak becus menjadi istri yang baik, andai ia bisa sedikit lebih peka dengan keadaan, pasti ia akan tahu tentang penyakit yang selama ini disimpan sendiri oleh suami nya.

Adit dan Riva yang memperhatikan dua wanita berbeda usia itu ikut terenyuh, Riva berlari dan duduk di sebelah Hana. Ia ikut memeluk tubuh Hana dari samping, "Yang kuat, Tante."

---

Pukul 8 malam ba'da isya sudah banyak para tetangga yang berdatangan untuk melakukan acara tahlilan, mendoakan ayah Tirta yang beberapa saat lalu dipanggil oleh yang maha kuasa.

Tampak Hana dengan wajah pucat nya serta mata sembab yang tak berhenti mengeluarkan air mata sambil memegang sebuah foto suaminya, ia baru saja sadar dari pingsan saat pemakaman suaminya. Ia banyak diberi kekuatan dari para kerabat dan para tetangga agar menerima dengan ikhlas kepergian sang suami.

Sedangkan Tirta mengunci diri dalam keheningan ruang kamar, dengan keadaan menangis karena teringat oleh kenangan dirinya saat bersama sang ayah. Hendri adalah sosok ayah yang tegas dalam mendidik dirinya sebagai seorang putri. Ayahnya selalu menginginkan Tirta menjadi gadis mandiri dan kuat.

Tirta menyalakan ponselnya untuk menghungi Anta. Dia baru ingat jika Anta belum tahu tentang kabar kepergian ayahnya.

Tutt...

Tutt...

Tutt...

Sudah beberapa kali dicoba namun hasilnya tetap sama, nomor lelaki itu tetap tidak bisa dihubungi, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Kemudian Tirta mematikan ponselnya karena tidak ingin diganggu oleh siapa pun saat ini.

Sedangkan ditempat lain, Anta sibuk berkutat dengan beberapa kertas yang akan menjadi akhir dari semua pengorbanannya. Lelaki itu kini sedang mengerjakan tes soal untuk bergabung ke sebuah perusahaan terkenal yang ada di kota Paris.

Jika dinyatakan lulus, maka ia akan bergabung dan menduduki meja manager dalam sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perindustrian.

Sudah seminggu ia mematikan ponselnya agar ia bisa fokus untuk belajar menghadapi tes ini. Tidak sia-sia karena soal yang diberikan oleh pihak perusahaan bisa ia selesaikan dalam waktu kurang dari yang ditetapkan.



Muncul lagi deh hihi...
Maap ya kalo agak gaje

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANTA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang