Jakarta, 4 tahun kemudian
Waktu terus berjalan, masih dengan Tirta yang tetap berperang dalam kesendirian.
4 tahun sudah berlalu tanpa kehadiran Anta. Lelaki itu tak pernah pulang barang sekalipun. Dan tetap dengan Tirta yang masih menunggu, menunggu takdir baik yang akan membawa lelaki itu untuk kembali pulang, berharap semesta membersamai mereka, lagi.
Lelaki itu sudah mengingkari janjinya untuk pulang setiap tahun, nyatanya ia tak pernah pulang sejak terakhir kali meninggalkan Tirta sendirian menangis ditepi pantai. Tapi, Tirta tetap menunggu meskipun tak pernah ada kepastian kapan lelaki itu akan pulang.
Sebenarnya, ada banyak alasan untuk membuat Tirta berhenti menunggu dan berpaling. Tapi ia tetap bertahan dan terus menunggu hanya karena satu alasan, karena sejak awal hatinya sudah jatuh sedalam-dalamnya pada sosok lelaki itu, Ananta.
Tirta memandang sendu sebuah foto lama yang sedikit usang. Sebuah foto yang menampakkan sepasang anak remaja yang memegang satu piala besar. Tirta tersenyum kala sepenggal ingatan berputar dikepalanya layaknya film lama.
'Biar aku aja yang pegang, biar orang kira aku yang menang olimpiade.' ucap seorang anak perempuan sambil menarik piala besar dari tangan besar seorang pria yang tepat berada disebelahnya.
'Iya udah, nih ambil'
Tirta masih tersenyum mengingat kenangan itu, hingga akhirnya tiba-tiba saja perutnya merasa mual dan membuyarkan ingatan wanita itu. Cepat-cepat ia pergi ke toilet untuk memuntahkan cairan yang terus berguncang di perutnya. Kemudian ia berkumur untuk menghilangkan rasa pahit sisa cairan tersebut. Entah kenapa dari sejak beberapa bulan terakhir ia sering merasa mual dan sakit kepala, tapi Tirta tak mau repot pergi ke rumah sakit untuk mengecek kondisi tubuhnya karena ia yakin ini hanya masuk angin biasa. Mungkin juga karena faktor pola makannya yang tidak stabil serta kurang tidur karena memang ia menderita insomnia akhir-akhir ini.
Tirta keluar dari toilet menuju lemari pakaian disudut ruang kamarnya. Ia memilih satu setel pakaian untuk ia gunakan bekerja.
Masih dengan pekerjaan yang sama, orang-orang yang sama, mungkin ada sedikit penambahan karyawan karena memang perusahaan itu mengalami kenaikan pesat dalam dua tahun terakhir. Masih ingat dengan Aji dan April? Mereka sudah menikah 2 tahun yang lalu, dan sudah memiliki bayi perempuan tahun lalu. Adit juga telah ditetapkan menjadi CEO di perusahaan, menggantikan pamannya. Mengingat umur paman sudah tidak muda lagi, dan paman tidak memiliki anak untuk meneruskan usahanya.
Setelah merasa telah sempurna dengan penampilannya pagi ini, buru-buru Tirta keluar dan bergegas pergi. Tak lupa ia memencet bel apartement Riva untuk mengajaknya pergi bersama.
Tirta mulai membuka laptop saat setelah sampai tepat waktu di kantor. Wanita itu kini tengah asyik mencari beberapa hotel yang bagus untuk ia rekomendasikan kepada para clientnya. Netra matanya teralih saat mendengar derap langkah kaki yang sepertinya semakin mendekat ke arahnya. Ia melihat Adit yang berjalan mendekat sambil membawa sebuah gelas berukuran sedang, lalu lelaki itu meletakkan gelas yang ia bawa tepat di atas meja Tirta.
"Minum." Titahnya. Tirta tersenyum, sudah dari dulu Adit sering memberikannya makan serta minum dengan alasan tidak ingin para pegawainya sakit karena tidak sarapan. Tapi Adit hanya berlaku demikian hanya pada Tirta saja, sedangkan untuk para pegawainya yang lain, ia acuh. Bukankah itu sedikit aneh? Jika ditanya lagi maka ia akan jawab karena Tirta itu jomblo, jadi tidak akan ada yang memperhatikannya. Lucu bukan alasan bodoh dari atasannya itu?
"Susu lagi." Pernyataan yang keluar dari mulut Tirta saat setelah wanita itu menyeruput minuman yang ada di gelas.
"Biar kamu ada tenaga buat ikut saya siang nanti." Adit meraih tangan Tirta dan memperhatikan jam yang melingkar indah di pergelangan tangannya.
"Kemana?"
"Biasa," Jawab Adit masih memperhatikan angka-angka yang ditunjuk oleh jarum jam milik Tirta, "Ya sudah, kamu lanjut lagi kerja nya. Saya mau balik ngecek dokumen pak Frans. Nanti saya kirim pesan ke kamu kalo mau berangkat."
Tirta mengangguk patuh. Seperti biasa, Adit bermaksud mengajaknya untuk makan siang sambil membahas rancangan acara bersama para client nya.
💦💦💦
Di restaurant pilihan Adit, mereka duduk di meja nomor 9 sambil menunggu client datang. Tak lama setelah pelayan datang dan mereka memesan jus untuk dinikmati sambil membahas pekerjaan, akhirnya sepasang paruh baya datang. Orang itu adalah client mereka hari ini, sepasang paruh baya yang ingin mengadakan acara pernikahan anaknya dengan mempercayai perusahaan WO yang dipegang oleh Adit.
Tak terlalu lama, mungkin hanya 1 jam mereka membahas masalah rangkaian acara beserta rangkaian lainnya, pasangan paruh baya itu undur diri setelah berjabat tangan dengan Adit dan Tirta secara bergantian. Menandakan bahwa mereka sukses terikat kerja sama.
Adit meregangkan tubuhnya saat tinggal berdua saja dengan Tirta, mungkin lelaki itu sudah terlalu pegal karena terus duduk dan berbicara panjang lebar. "Pesan makan, Ta." Suruh Adit sambil melempar daftar menu ke hadapan Tirta.
Tirta mulai membuka setiap halaman yang menampilkan banyak makanan yang menurutnya enak. Jika perutnya ini terbuat dari karet, mungkin ia sudah memesan seluruh makanan yang tertera disetiap halaman buku itu, lagian tagihan bill nya Adit yang akan bayar, seperti biasa.
Tirta sudah memesan makanan yang sudah biasa mereka makan saat bersama, ia tidak ingin repot-repot mikir untuk memilih makanan yang enak. Jadi seperti biasa, menu biasa yang sering mereka makan.
Baru beberapa saat pelayan itu pergi meninggalkan meja mereka, bunyi dering ponsel menyeruak dari dalam tas Tirta. Wanita itu sengaja memilih ringtone yang bunyinya besar serta nyaring, karena akhir-akhir ini ia sering sekali melewatkan beberapa panggilan karena alasan bunyi ponselnya yang terlalu kecil.
"Sebentar ya, mama nelpon." Ucap Tirta dan ditanggapi sebuah anggukan kepala oleh Adit.
Dengan cepat tirta menekan tombol hijau dilayar ponsel untuk mengangkat panggilan dari ibunya.
"Assalamu'alaikum, mah."
"....."
Wajah Tirta memucat, senyum nya memudar, serta tubuhnya seakan membeku setelah mendengar sebuah kalimat yang meluncur dari mulut wanita paruh baya diseberang telepon sana.
Dukk..
Adit langsung mengalihkan netra nya ke sebuah ponsel yang jatuh dari tangan Tirta. Ia kaget. Raut wajah Tirta berubah begitu cepat setelah menerima panggilan dari wanita yang ia sebut mama itu.
Wanita itu menitikkan air mata, buru-buru Adit mengambil ponsel yang tadi jatuh kelantai karena Tirta yang kurang kuat memegangnya. Kemudian Adit meraih jemari Tirta untuk menghentikan tangisan wanita itu.
"Ada apa?" Tanya nya pelan.
"Aku mau pulang!" Tirta menangis lalu pergi meninggalkan Adit beserta tas dan ponselnya yang ia tinggalkan begitu saja di meja
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTA [On Going]
Подростковая литератураIni cerita tentang penantian Tirta dan cerita tentang Ananta yang memilih untuk tetap pulang meski ada banyak sekali peluang untuk pergi dan menghilang. -ANTA- ▪Dibuat pada 1 Mei 2020🌻 Bukan seorang penulis, hanya saja saya terispirasi dari seseora...