20

14 5 3
                                    

Cuaca hari ini cukup mendung, tapi belum hujan. Tirta menikmati sepotong roti dan sekotak susu yang tadi pagi ia beli di minimarket saat menuju kantor. Memang sengaja ia bawa karena hari ini ia tak punya banyak waktu untuk keluar makan siang, alhasil ia hanya menikmati sepotong roti dan sekotak susu di atas rooftop gedung kantor.

Gedung ini tak terlalu tinggi, tapi cukup menyenangkan menikmati jalanan macet kota Jakarta dari atas sini. Pemandangan yang sudah biasa ia lihat. Selama bekerja di sini, hanya rooftop yang menjadi tempat ternyaman untuk wanita itu, terlebih lagi jika saat malam ia kebagian jatah lembur, sudah pasti rooftop yang menjadi pelampiasan penat saat seharian bekerja. Saat malam, kota Jakarta akan terlihat sangat indah jika disaksikan dari atas sini.

Sudah beberapa bulan ia bekerja disini, dan tetap saja ia merasa ada yang kurang. Ia tak pernah bisa terbiasa tanpa lelaki itu, meski sudah sejak lama lelaki itu pergi meninggalkannya. Tak pernah ada kabar dari Anta, baik pesan sekalipun. Sebegitu sibukkah ia sampai sebuah pesan pun tak sempat ia kirim? Padahal Tirta hanya menunggu satu pesan saja yang mengatakan jika lelaki itu baik-baik saja, Tirta sudah merasa cukup. Anta seakan ditelan bumi.

Tirta sudah berulang kali mengirim pesan, tapi hanya dibalas dengan kata sibuk. Sejak hari itu Tirta memutuskan untuk tidak akan pernah mengirim pesan lagi, ia hanya akan menunggu Anta yang memulai. Tapi lelaki itu tidak pernah memulai.

Tirta memandang ke langit saat mendengar bunyi, dan ternyata bunyi pesawat yang sepertinya ingin mendarat di bandara yang memang letaknya tak jauh dari kantor ini. Jadi wajar jika bunyi nya terdengar sedikit nyaring. Tirta menghela napas kasar, 'akan lebih baik jika Anta menjadi salah satu dari banyaknya penumpang dalam pesawat itu'

"Ternyata kamu disini."

Buyar semua lamunan Tirta saat mendengar suara yang sudah tak asing baginya

"Bapak kenapa ada disini?"

Lelaki itu berdiri disebelah Tirta melihat jalanan kota Jakarta "Saya cari kamu"

"Kenapa cari saya?"

"Memang salah kalo saya mencari bawahan saya?"

Tirta mencebik jengkel, bisa tidak jangan pakek embel-embel 'bawahan'? Sungguh tak enak didengar

"Kamu kenapa disini?"

"Cari angin," wanita itu menjawab dengan nada jengkel, sengaja agar lelaki itu tau bahwa dirinya sedang jengkel.

"Apa AC kurang, sampai kamu harus ke rooftop? Emang kulit kamu, kulit landak?"

Hell? Landak? Rasanya ingin Tirta jatuhkan atasannya itu dari atas gedung ini. Adit memang gitu, kalo ngomong suka enggak pakek hati.

"Atau kamu lagi mikirin Anta itu kan?" Lelaki itu terkekeh. Memang sok tau. Tapi bener!

"Sok tau."

"Enggak usah bohong, saya tahu orang-orang kayak kamu kalo galau suka kayak gini. Diem-diem, sendiri, udah tu lompat dari gedung,"

Astaghfirullah. Ini bener-bener udah kelewatan, dia kira Tirta wanita bodoh yang mau mati konyol

"Terserah bapak mau mikir apa, enggak peduli." Ucapnya ketus. Kemudian Tirta melipat kedua tangannya didepan dada.

Adit diam setelah mendengar jawaban Tirta yang nampaknya sudah terluap emosi. Adit melihat wanita itu yang menatap hampa jalanan yang ada dibawahnya.

"Seandainya kalo saya suka sama kamu, gimana?"

Tubuh Tirta sejenak terasa kaku saat mendengar sebuah kalimat yang muncul begitu saja dari mulut lelaki yang kini berada disebelahnya, cepat-cepat ia menetralkan denyut jantung yang sudah berdetak tak stabil "maksud bapak ngomong gitu apa?"

"Bagaimana kalo saya suka sama kamu?" Ulangnya lagi

"Sebaiknya jangan pak, karena saya tidak bisa membalas perasaan bapak ke saya,"

Tirta saat ini merasa menjadi tokoh utama dalam cerita wattpad yang biasa ia baca, cerita dimana sang atasan yang menyukai bawahan. Tapi tolong, ini bukan dunia wattpad.

Adit menghela napas kasar "Ini pertama kali saya ditolak perempuan," ujarnya. Tirta cukup kaget, ditolak? Apa maksudnya?

"Nolak?"

"Iya, kamu udah nolak saya."

"Tapi tadi bapak kan cuman ngasih perandaian," Tirta memandang wajah Adit dengan raut wajah yang sulit diartikan

"Tapi memang itu yang saya rasakan Tirta. Dan kamu sudah menolak saya," Adit memasang raut wajah sedikit kecewa

"Hahaha bapak kayak lagi syuting film di drakor aja. Saya jadi deg-deg an ini pak," Tirta tertawa hambar untuk mencairkan suasana

"Saya serius."

Skakmat. Tirta sudah tak bisa berkutik saat suara tegas dari Adit sudah keluar, menandakan pria itu benar-benar sedang serius

"Apa tidak ada kesempatan untuk saya?" Pertanyaan itu, sebenarnya Tirta juga tidak tau jawabannya. Apa tidak ada kesempan orang lain untuk mengganti posisi Anta? Tapi, kenapa harus diganti? Anta tak punya salah hingga ia punya alasan untuk mengganti sosok lelaki itu.

"Maaf pak, kesempatan itu enggak akan pernah ada selagi Anta masih ada. Dan bapak sudah tau itu," Tirta sedikit canggung saat ini, tak pernah sekalipun ia terpikir akan berada diposisi sulit seperti ini.

Tirta menatap Adit dengan raut wajah yang merasa bersalah, padahal ia tidak salah. Cinta memang tidak bisa dipaksakan, bukan?

Adit tersenyum dan menepuk bahu Tirta pelan "It's oke, kita masih bisa berteman," kemudian lelaki itu melangkah pergi meninggalkan Tirta dengan banyak pertanyaan yang kini sedang memenuhi ruang kepalanya

'Pak Adit baik-baik aja kan?'




Jangan lupa vote dan coment oke. Setidaknya hargai usaha para penulis kentang seperti saya, sebab vote merupakan dukungan dan kebahagiaan tersendiri bagi para penulis rendahan seperti saya.
Terimakasih🙏

Wassalamu'alaikum Wr.Wb

ANTA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang