"Sean !!"
"Selamatkan aku!!"
Mata yang terpejam, sekejap terbuka karena dikejutkan suara yang samar-samar tenggelam kemudian.
Dadanya sesak. Seakan ada sesuatu yang salah. Kemana Janet ? sadarnya setelah ia melihat gadis itu tidak ada di ruangannya.
Jangan-jangan suara yang dengar tadi. Bukan mimpi. Hal ini nyata. Nafasnya menjadi sangat pendek, hatinya gelisah.
Pergi ke pintu. Terkunci.
Ia tidak bisa mengingat apapun dalam bentuk angka. Telunjuknya mulai bergetar, makin ia berusaha mengingat kata sandi, kepalanya makin berdenyut, pandangannya berputar-putar, mengerang dalam kesakitan yang luar biasa dan akhirnya tumbang jatuh ke lantai. Kemudian semua terasa sangat kaku, dan sulit bergerak, mulai kesemutan dari ujung kaki yang membuat sensasi kebas terasa menyelimuti seluruh tubuhnya dengan sangat cepat.
Menuju stroke atau kematian otak. Apakah seperti ini? Sean menangis karena waktunya tidak tepat. Janet membutuhkannya. Untuk pertama kalinya, ia mengerang dalam hatinya memanggil Tuhan.
God... Tolong jangan sekarang.
Hidungnya mulai terasa masam. Bau amis tercium tidak enak. Hidungnya berdarah lebih banyak daripada biasanya. Ia menghapus, jejak darah menempel di punggung tangannya.
Sean berusaha membuka matanya. Ternyata sangat sulit. Sebentar kemudian pikirannya terasa kosong, ia bahkan sulit berbicara, di tenggorokan ada sesuatu yang menjanggal. Ia tenggelam dalam keheningan, berkaca-kaca untuk pertama kalinya, karena ia tak bisa menggerakan tubuhnya.
Ia mendorong dirinya untuk tidak mati sekarang. Mendorong dengan kuat tekadnya, memberi serangan balik terhadap sakit yang ia terima.
Telunjuk kirinya menunjukan reaksi, akhirnya bisa di gerakkan perlahan-lahan naik mngetuk-ngetuk lantai. Kemudian diikuti jari lainnya membentuk satu kepalan tangan yang meremas kuat emosinya. Matanya terpejam, kini terbuka dengan sorot mata seperti orang yang telah hidup kembali, setelah rasanya ia telah mati satu kali. Ingatannya terhadap angka di pintu, tercetak begitu saja.
Sean tau, hal ini hanya akan berlangsung sebentar, ketika emosinya tengah di titik tertinggi, namun hal ini akan menguras seluruh kekuatan fisiknya, dan kapan saja bisa membuat kematian otak segera
Ia tidak peduli. Yang ia pedulikan saat ini, Janeta Diandra.
Bangkit dari lantai, dengan telunjuk yang menekan panel-panel segi empat dengan angka yang terdapat di pintu.
Bagaikan suatu keajaiban yang muncul, Sean tidak merasakan kembali sakit pada tubuhnya, yang ada kini ialah dadanya bergemuruh seperti menerbitkan petir yang menakutkan.
Tiba-tiba... Krett...
Pintu dapat terbuka. Ia segera pergi ke kamar sel Janet. Janet tidak ada. Banyak waktu terbuang mencari dan mencari, akhirnya ia masuk ke lorong yang jarang ia lewati, suatu ruang yang lebih gelap dan sangat gelap.
Sunyi senyap. Hanya tapak kaki yang berlari yang terdengar putus asa, namun tetap berjuang. Menuju ruangan itu. Makin ia mendekat, makin jelas rintihan sakit terdengar.
"Arg..lepaskan..lepaskan "
Perasaan Sean bercampur aduk. Matanya merah dan mulai menangis, untuk pertama kalinya ia merasa simpatik nya pada Janet sungguh bukan perasaan sebagai seorang teman, dan juga bukan untuk keluarga.
Tidak menunggu lama. Tubuh besinya mendobrak dan menghancurkan pintu.
Apa yang ia lihat? Biadab yang tak bisa ia toleransi. Kaki Janet yang ramping dicengkram agar berhenti bergeliat oleh satu orang besar, dan satunya tengah berhasil melucuti kemeja Janet, dan ia terlihat usai mencium Janet dengan rakus, dan satu orang wanita mengunci tangannya di atas kepala. Kini semua tampak terkejut menatap Sean yang berdiri di ambang pintuya. Matanya terlihat menakutkan hingga ke tulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Love
General FictionJaneta Diandra, Gadis super jenius yang diantar ke rumah sakit jiwa karena keserakahan ibu dan saudara tirinya, ia dituduh mengalami gangguan bipolar setelah satu hari kematian ayahnya. - Janet- Uinseann Adrian Poldi, Pria keturunan Inggris dan Bata...