Sean terbangun.
Pertama kali, yang ia lihat adalah tetesan air jatuh yang mengalir jatuh terhubung melalui selang, yang ujungnya menancap di punggung tangan Sean.
Ternyata, ia telah berada di kamarnya, mengedipkan matanya berkali-kali, karena apapun yang ditangkap kornea matanya, terlihat hitam putih, tidak ada warna lain.
Sangat aneh. Sean perlahan sadar, cedera otaknya makin parah. Ia tidak terlalu berminat, menangis karena takut mati.
Ia menahan kepalanya yang berdenyut-denyut, dengan rasa kaku di belakang leher, ingat Janet, ia bangun. Matanya mengedar ke seluruh isi kamar, memanggil, "Janet--Janet--Janet.."
Tidak ada yang menjawab.
Hanya suara langkah kaki besar yang tiba melewati garis pintu, meraba kening Sean, dan menyapanya dengan tutur yang sangat lembut, "Sean, apa kau sudah lebih baik?"
Sean mendongakan wajah ke empunya suara, yang terdengar sangat akrab. Andrew-- ayahnya telah datang, tetapi ia tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan balik bertanya seakan ayah tau satu hal, "ayah, mana Janet ?"
Andrew mengangkat bahu, dan lirih menjawab, "aku baru tiba, dan hanya tau kau dan gadis gila itu, berbuat onar. Aku belum melihatnya."
Ia pura-pura tidak mengenal yang Sean maksud, padahal Andrew baru saja bertemu Janet, gadis dengan otak kualitas super, tapi Andrew menolak, cangkok otak seorang perempuan, ia tidak ingin puteranya melanjutkan hidup seperti banci, Dr. Bryan menawarkan Dr.Luke sebagai alaternatif lainnya, lagi-lagi Andrew tidak berani mengambil resiko, karena perjalanan operasi, Dr.Luke lah ahlinya. Walau Andrew, sempat sangat berminat dengan kecerdasan Dr.Luke yang masih belasan tahun.
Tidak ada pilihan lain. Ia kembali untuk mempertimbangkan, Janet atau Dr.Luke. ia harus memilih di antara dua orang itu.
Apalagi Andrew baru mengetahui keadaan Sean yang telah mengalami cidera, yang membuat puteranya terbaring selama tiga hari dua malam, keadaan tubuh yang makin parah, otak Sean perlahan menuju kematian, dan walau fisiknya masih sangat bagus, tapi kapan saja Sean akan berlaku seperti orang yang hanya akan terbaring di atas kasur, dengan tatapan kosong. Mati tidak. Hidup tidak. Tepatnya, disebut Koma berkepanjangan.
Hal ini membuat Andrew mulai sangat cemas, dan harus berani mengambil resiko, harus menjalani operasi secepat mungkin. Hanya Janet, pilihan tepat saat ini, selain Dr.Luke.
Janet. Walau nama gadis itu terlintas dari mulut Sean, menandakan hubungan mereka lebih dari teman biasa. Andrew, teringat pernah suara seorang wanita yang meneleponnya, pastilah gadis genius itu, Janeta Diandra.
"Ayah, tolong cari Janet untukku," pinta Sean mengejar karena ayahnya terlihat termenung, segenap isi rumah sakit ini, sangat menghormati uang ayahnya, jadi bukan hal yang sulit mendapatkan informasi.
"Ayah, tidak tau. Lebih baik kau beristirahat, kau akan menjalani operasi," saran Andrew yang mendekati puteranya, dan kedua tangannya berusaha menjatuhkan kembali ke kasur, agar pria ini kembali tidur.
Sean menggoyangkan bahunya, menepis tangan ayahnya, dan menolak keras, "aku tidak akan operasi, jika kau tidak menemukannya untukku, aku ingin bertemunya sekali."
Sean teringat akan Dr.Bryan yang berusaha membius Janet, "ayah, apakah Janet tidak di lukai Dr.Bryan?"
Andrew menggelengkan kepala, "tidak nak, Dr.Bryan bercerita ia hanya membiuskan obat, agar tidur lebih lama, agar dia tidak mengamuk---"
Sean membatah, "tidak! dia tidak gila ayah, ia normal seperti diriku, hanya saja nasib yang mengantarnya kesini."
Andrew tidak peduli. Siapapun yang di antar kesini, jika bukan karena buangan, namun juga karena otaknya telah dijual dan di ganti, atau sedang tengah menunggu kehidupan baru dengan otak baru. Rumah sakit jiwa, hanya kedok selimut untuk perdagangan otak. Menjadikan si bodoh menjadi pintar, menjadikan yang waras, untuk menjadi gila.
Sudah dipastikan, Janet adalah si briliant yang menjadi target, di curi otaknya dan di cangkokan ke orang lain, selanjutnya seterah Dr.Luke, menjadikan gila, atau membiarkan mati, syukur-syukur jika gadis itu, hidup normal, karena menemukan otak yang tepat.
"Ayah! aku sungguh menolak operasi, tanpa Janet disini,"ujar Sean terdengar mengeluarkan dekrit mutlak.
Andrew ingin pergi mencekik puteranya, andai ia memiliki banyak putera, mungkin ia telah meloloskan saja Sean menuju ajalnya. Tapi sayang, kehidupan ini hanya memberikan satu putera, karena istrinya tidak bisa memberikan anak lagi, karena kista, rahimnya telah di angkat, "baiklah, aku akan mencari tau nanti."
"Sekarang, ayah harus mencarinya!" perintah Sean terdengar membentak, Andrew dikejutkan, sejak kapan Putera kesayangan, yang selalu pengecut melihat matanya, kini bersikap arogan.
Ingin bertengkar, Andrew akan menangkap. Tetapi untuk hari ini, ia harus bersabar, wajah Sean terlihat seputih kapas, Andrew tidak tega, kali ini malas bertindak marah, dan akan bertengkar dengan puteranya, walau baginya mencari pesakit bernama Janet, bukan hal prioritas penting, kali ini ia harus mencari gadis pesakit itu, "aku akan mencari informasinya sekarang, tidurlah."
Mendengar ayahnya bergerak mencari, Sean baru tenang dan merebahkan kepalanya, karena luapan emosi tadi, membuat kepalanya kembali berdenyut-denyut keras, ingin pecah pembuluh dan mati, memejamkan mata, ketika ia membuka kembali, pandangannya bewarna beberapa detik, selanjutnya berubah terlihat berbayang dengan warna hitam putih.
Hantaman sakit kepalanya, kini seperti merobek selaput. Sangat menyakitkan. Ia berusaha tenang. Jangan takut mati.
Ia hanya pergi memejamkan mata, andai sesuatu terjadi padanya, ia hanya akan memberi wasiat, agar ayahnya bisa membawa Janet keluar dari rumah sakit sialan ini. Terpejam, tapi tidak bisa. Ia membuka matanya, kini bukan hitam putih, hanya hitam seperti ruangan telah di matikan lampunya. Gelap. Sangat gelap. Sekejur tubuhnya menjadi merinding.
Sean menelan ludahnya, "ayah, nyalakan lampunya."
Andrew suram berdiri di dalam kamar, ruangan ini sangat benderang, untuk pertama kalinya, ia ingin terisak, Sean telah kehilangan koordinasi penglihatannya, Andrew hanya diam, seakan-akan ia telah meninggalkan ruangan.
"Ayah, apa kau sudah pergi?"
Tidak ada jawaban, ruangan terasa sepi dan senyap. Sean memejamkan matanya, akhirnya ia mengira bahwa ayahnya telah pergi dari ruangan.
Andrew berdiri gemetar, menunggu, tetap menunggu di sisi puteranya. Ia harus berbicara dengan Dr.Bryan, tidak ada pilihan lain, hanya Janeta Diandra.
Terlihat nafas Sean mulai teratur, Andrew baru mengangkat kakinya melangkahi garis pintu. Berjalan sepanjang koridor, namun ia tak melihat apapun, kelopak matanya penuh air.
Berhenti. Kakinya terhenti, ketika mulutnya perlahan mengecap rasa asin untuk pertama kali. Sudah lama sekali, Andrew tidak pernah menangis. Hujan air mata. Ia duduk tersungkur memukul lantai, ia bertekad akan menyelamatkan Sean, jika perlu, ia sanggup mati, dan mendonorkan otaknya. Tetapi, bagaimana dengan istri bodohnya itu.
Andrew menghapus air matanya, mencari Dr.Bryan, untuk ia menemukan dengan mudah, Dr.Bryan tengah berbicara dengan seotang pria muda, yang terlihat sangat familiar.
Mendekat, tanpa sengaja, Andrew mencuri dengar pembicaraan mereka
"Saya, Michael Reivanka, mencari Janeta Diandra."
Nama itu langsung berkesan di benak Andrew. Si genius kelas super, yang telah mengguncangkan dunia. Tidak sangka, ia bertemu di sini. Sangat kebetulan.
...Ns.
Bagaimana coment yah sebanyak mungkin 😘😘 siapakah yang pantas menjadi cangkok untuk Sean, jawab yah
-Michael
-Janet
-Luke
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Love
General FictionJaneta Diandra, Gadis super jenius yang diantar ke rumah sakit jiwa karena keserakahan ibu dan saudara tirinya, ia dituduh mengalami gangguan bipolar setelah satu hari kematian ayahnya. - Janet- Uinseann Adrian Poldi, Pria keturunan Inggris dan Bata...