21 Tepati Janjimu

1.3K 126 84
                                    

Rene menyentuh bekas tamparan. Sensasi panas menjalar ke kulit tangannya.  Mimik keji tak ia sembunyikan, dalam hitungan dua detik, ia menerkam Janet  yang tidak menduga hal ini terjadi, sehingga ia dengan mudahnya dijatuhkan ke lantai, dan posisi Rene duduk menimpa  Janet, kemudian kepala Rene dengan cepat tunduk ke bawah, mengincar leher Janet, dan menggigitnya seperti binatang.

Janet berontak, mendorong dan menjambak rambut Rene, tapi Rene tidak mudah melepaskan daging leher, ia menikmati sensasi mencabik dengan gigit. Ia meyukai rasa amis dalam mulutnya. Segar dan nyaman baginya. Ia menyukai sebutan itu. Anjing. Serigala. Vampire.

Serangan itu sangat cepat di mata Sean. Sean tersadar, dan menarik tubuh Rene dengan membantingnya dan membuat gadis itu tersungkur ke lantai dingin setelah menabrak dinding, namun cabikan gigi itu malah menggores makin melebar membentuk seperti cakar yang melingkar, karena Rene tidak pernah ingin melepas leher mangsanya.

Bantingan Sean sangat keras, membuat Rene tidak berdaya, dan pingsan. Sean mendengus pada dirinya, "ini pertama kalinya, a--ku memukul wanita,"

Janet berdiri sambil memegang lehernya yang tanpa ia sadari mengeluarkan banyak darah, ia segera meralat "dia bukan wanita, tapi monster!"

Sean berbalik ke arah Janet, memeriksa leher Janet, sorot matanya berubah cemas melihat bekas luka yang yang lebih tepatnya seperti cakar binatang. Ia menurunkan tangan Janet, dan mendapati lubang gigi yang mengerikan, penyebab darah terus  menetes, menodai warna pundak pakaian Jamet.  Bukan lagi biru muda. Tapi merah, "lebih baik, kita segera mengobati lukamu, gadis itu memang monster!"

Setelah mencapai kamar Sean, Sena langsung mengenakan kaos membungkus tubuhnya. Kemudian, ia duduk menumpu lututnya di atas lantai di dekat kaki Janet , dan ia mulai memperlakukan luka Janet dengan hati-hati, dan lembut.

"Mungkin ini akan membekas," kuatir Sean,  "apa kau berencana untuk menggigitnya kembali ?" lanjut Sean terdengar menghasut, seharusnya Janet menghajar gadis itu dengan memberikan gigigitan yang sama.

Tangan Janet naik ke kulit lehernya, ia meraba dua lubang yang terasa dalam. Rene benar bersungguh-sunguh dalam aksinya. Ia gila dan bernafsu membunuh karena sakit otaknya. Ia hanya menghela nafas -- memaklumi, "ia gila, aku tidak perlu perhitungan."

"Berikan kain kasa itu untukku, tanganmu terlalu lamban," pinta Janet mengulurkan tangannya, Sean menepis tangan itu dan membuka gulungan kain kasa. Ia merekatkan kain kasa,  selain bekas sabetan gigi, ads  tanda  biru-ungu di leher Janet, memberi pandangan tidak enak pada matanya, ia pun menggulungkan kain kasa melingkar dengan tebal. Jadi, ia tidak perlu sakit mata melihat biru-ungu yang tercetak karena orang lain.

Janet yang tidak menyadari tanda biru ungu yang membekas, kain kasa tebal  membuat dirinya  tidak nyaman karena lukanya hanya dua lubang kecil, bukan satu batang leher,ia segera protes, "apa yang kau lakukan?aku bukan mumi."

Sean enggan menjawab, ia hanya mengikat simpul  di belakang leher Janet setelah melingkarkan dengan balutan kasa yang sangat tebal.  Janet masih mendelik tidak senang, bukan membalut luka seperti ini yang ia minta. Tapi kali ini ia malas berdebat.

"Apa kau ingin pergi dari sini ?" tanya Sean tiba-tiba teringat ia belum tentu memiliki waktu yang banyak untuk melindungi Janet. Kejahatan seperti ini bisa berulang.

Janet menganggukan kepalanya, lalu meraih tangan Sean, matanya menunduk karena Sean duduk dekat bawah kakinya, "aku sangat ingin keluar, bagaimana denganmu ?"

Sean tersenyum sesat melihat tumpukan tangan mereka  yang terjalin di atas paha Janet, "cium aku, jika kau ingin membawaku."

Cium!!

Pikiran Janet menjadi suram, ia teringat ciuman yang membuat isi perutnya ingin keluar, telapak tangannya naik menutup bibirnya. Sean merasa reaksi Janet menolak dirinya, ia  mengangkat alis terlihat kecewa, "kau tak ingin menciumku?"

Janet menurunkan tangannya,ia mengelap wajahnya tersipu merah, menangkap dagu pria yang tengah duduk dekat kakinya, ia mencium bibir itu lembut dan singkat.

Sean terpaku. Matanya penuh rasa terkejut. Untuk pertama kalinya Janet memiliki inisiatif.  Ia protes karena rasanya hilang begitu cepat, "ini, terlalu singkat, seharus--"
Tidak melanjutkan kalimatnya lagi, menarik tekuk leher Janet untuk membungkuk, iapun mengangkat dagunya ke atas, tidak sabar ia segera berinisiatif  menciumnya lebih dulu dengan lembut. Tidak ada penolakan. Sean lebih berinisiatif, makin lama terasa makin menyita isi mulut janet, ia selalu memberikan cela udara, tanpa harus  menghabiskan oksigen, sehingga terus berlanjut dan lanjut dalam  lumatan-lumatan yang tercipta yang begitu lama.

Puas disana, bibir Sean turun perlahan menyapu dari sekitar dagu dan menyusuri tulang dagu dan memiringkan kepalanya, mencium tulang leher yang terbalut kasa. Memberi sapuan dengan nafas yang Janet menyukai, seakan ia telah melupakan bekas-bekas pria brensek. Ciuman Sean membuat dirinya jauh lebih menikmati daripada jijik, tetapi ciuman Sean yang terus turun dan turun. Hal ini sangat membuat Janet cemas.

Deg!

"Stop !! Sean," dorong Janet. Sean berhenti. Mereka hanya saling melempar tatapan seakan mereka sudah saling memiliki, walaupun tidak ada salah satu dari mereka yang mengungkap perasaan lebih dahulu. Hal ini mereka cukup tau. Cinta itu tidak selalu harus di utarakan, namun harus dibuktikan.

"Bagaimana rencanamu ?" tanya Sean.

Janet tidak segera menjawab, "bagaimana kau, apa kau mengikuti aku?"

Sean menggelengkan kepalanya, ia menolak tawaran ini, ia memilih untuk tinggal, daripada serangan mematikan, ia masih memiliki kehidupan yang mendekati kematian, hal ini bisa menciptakan beban kapanpun dan dimanapun, "aku akan tetap kembali, setelah mengantarmu dengan selamat."

Janet mengeryit, seakan protes akan kalimat itu, "kita harus pergi ber--"

"Aku... hanya bisa mengantarmu!" Potong Sean tegas. Seketika wajah Janet suram dan sedih.

Tangan Sean menggengam tangan Janet, meremasnya sebentar, agar Janet memiliki keyakinan untuknya,  "aku akan menyusulmu nanti, aku harus menyelesaikan segala sesuatu di sini dengan baik, agar bisa kembali ke negaraku. Setelah itu akan mencarimu, di manapun dirimu, aku pasti menemukanmu."

Janet menatap pasrah dan menagih hal ini harus di penuhi kelak, "kau harus menepati janjimu."

Sean memberikan anggukan.

***
Mic bangun setelah ia merasa sekujur tubuhnya menggigil, saking lelahnya malam tadi, ia lupa mengenakan pakaiannya dan pergi tidur. Jika terus begini, ia bisa demam.

Ia cepat pergi ke almari, memilih piyama yang nyaman. Hari ini, ia malas melakukan apapun. Ia hanya ingin berdiam di rumah, dan teka-teki malam tadi berputar menarik minat.

Mengambil ponsel, namun ada 1 pesan nomor asing masuk kemudian, nomor pribadinya hanya sedikit orang yang tau. Ia cukup penasaran, membukanya.

Michael, apa kau masih mengingatku? Aku Janeta Diandra. Semoga kau masih mengingatku, kita pernah mengobrol sepanjang malam tentang Einstein, Nikola Tesla, Charles Darwin,  dan terakhir tentang Habibie. Apa kau bisa mengingatku? Kamar 1201. Kita mengobrol di sana sepanjang malam.

Mic mencubit wajahnya. Matanya membaca ulang sekali lagi, ia takut ia telah bermimpi karena terlalu banyak berharap. Kamar 1201. Mic juga masih mengingat dengan jelas, nomor kamar itu. Ia tidak pernah melupakannya, bahkan posisi duduk dan gerak-gerik gadis Einstein selama di kamat 1201 masih membekas jelas.

***

Noted:
Selamat datang Vote dan komentar yang lebih banyak, next target kaya biasa 50 coment, jangan lupas testimoni.

Crazy LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang