27. on the way home

649 42 4
                                    

Tidak sesuai dugaan Karina. Untuk Mencapai desa jirian dibutuhkan stamina yang luar biasa. Karina harus melewati wilayah yang di guyur hujan, mendaki gunung, dan melewati jurang yang curam barulah dia bisa menjamah desa jirian.

Estimasi waktu awal hanya sekitar tujuh belas jam, tetapi ternyata Karina salah, sepertinya dia butuh waktu sekitar satu hari untuk sampai di sana jika waktu istirahat juga diperhitungkan.

Karina menghela napas lelah, melihat pohon apel yang berbuah banyak seketika membuatnya berbinar. Kebetulan, roti pemberian amber sudah habis tadi siang, daripada membeli makanan lebih baik dia menikmati hasil alam. Selain karena masih segar, juga karena gratis.

Mengambil batu yang tidak jauh dariny Karina mulai berancang-ancang hendak menembak salah satu apel itu. Lemparan pertama salah sasaran, lemparan kedua masih salah sasaran, bahkan sampai lemparan kelima dia tetap salah sasaran.

Karina memberengut sebal hingga suara tawa yang cukup kencang mengalihkan perhatiannya. Karina berbalik, tepat di bawah pohon pinus yang terletak cukup tidak jauh darinya seorang pemuda tampak menertawainya.

"Panjat, bodoh. Kau tidak akan bisa jika hanya melemparnya."

"Tapi aku tidak bisa memanjat."

Laki-laki itu berdecak lalu menghampiri Karina. "Anak perempuan memang tidak tahu apa-apa. Mereka cuma bisa bermain gaun dan pesta teh."

Ejekan itu tidak lantas membuat Karina jengkel. "Jangan terlalu cepat menghakimi orang. Memangnya kamu mengenaliku?"

"Tidak."

"Lalu kenapa sok kenal?"

"Aku tidak sok kenal, tapi menebak dengan cepat kalau kau itu perempuan yang payah. Masa memanjat pohon yang tingginya cuma delapan meter ini tidak bisa."

"Memangnya kamu bisa? Kalau bisa panjatlah, tidak usah mengejek orang."

Anak laki-laki itu mengangkat bahu acuh lalu tanpa aba-aba melompat naik ke atas dahan pohon seperti monyet. Karina yang melihatnya sampai kaget lantaran pergerakannya yang secepat cahaya.

"Kau mau apel berapa?" Tanyanya setelah sampai di atas pohon.

"Sebanyak-banyaknya kalau bisa."

"Huh, dasar rakus," cibirnya.

"Aku masih bisa mendengarmu,"

Tidak ada jawaban tapi suara tawanya yang terdengar puas benar-benar menjatuhkan harga diri Karina. Jika tidak dalam keadaan genting, mana mungkin dia meminta bantuan orang itu.

Satu per satu apel mulai berjatuhan, Karina lantas memungutinya lalu menyimpannya di dalam tas. Saat dirasa sudah cukup, anak laki-laki itu turun dari pohon.

Karina tersenyum senang, "terimakasih. Ini apel untukmu."

Anak laki-laki itu mengangkat salah satu alisnya bingung melihat dua buah apel yang disodorkan padanya. "Untukmu saja, aku bisa ambil sendiri jika mau."

Karina mengangkat bahu acuh. "Terserah, padahal aku sudah menawarimu, ya."

"Siapa namamu? Kau mau pergi ke mana? Kau tidak terlihat seperti penduduk sini?" Tanya laki-laki itu beruntun. Memperhatikan penampilan Karina dengan saksama dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Aku sedang dalam perjalanan pulang menuju tempat tinggal asalku."

"Oh, iya. Memangnya kau tinggal di mana?"

Karina terdiam, berpikir sejenak. Pasti laki-laki ini tidak akan percaya jika Karina bilang kalau dia berasal dari dunia lain. "Emm...aku dari desa jirian?"

ParalaksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang