Di taman kampusnya, Bryan duduk di sebuah kursi panjang dengan pandangan yang menatap lurus. Elena yang tadinya hanya ingin sekedar berjalan, pandangannya pun tiba tiba tertuju pada Bryan yang sedang duduk itu. Ia pun berjalan dan duduk di samping Bryan.
“Kau sedang apa?”
Pertanyaan Elena itu membuat lamunan Bryan buyar. Ia menolehkan kepalanya menghadap Elena, “Tidak apa apa. Hanya memikirkan perjalananku selanjutnya”
Kening Elena berkerut, “Memangnya kau mau kemana?”
Bryan menghela napasnya, “Aku ingin melanjutkan S2 ku di Amerika”
Elena terdiam. Tangannya meremas kecil baju wisudanya itu. “Bryan, bolehkah aku berterus terang kepadamu?”
Bryan mengangguk, “Silahkan”
Elena menggigit bibir bawahnya itu, “Mungkin ini sedikit memalukan. Waktu aku pertama kali melihat matamu, aku merasa kalau aku tak ingin berpaling untuk melihat indahnya matamu itu. Setiap kali aku bersamamu, jantungku pasti berdebar. Hingga membuatku merasa ada rasa yang timbul di dalam hatiku. Aku sering mengabaikan rasa itu. Tapi setelah aku mengetahui kalau kau akan melanjutkan S2 mu di Amerika, aku menjadi takut jika kehilanganmu. Kelihatannya, aku mencintaimu, Bryan”
Bryan menelan ludahnya, “Terima kasih, sudah mau berterus terang kepadaku. Tapi Elena, aku tidak menyukai cinta. Entah kenapa jika aku mendengar kata itu, rasa takutnya seperti aku takut dengan bayanganku sendiri”
Satu tetes air mata pun terjatuh dari mata Bryan karena melihat Elena yang menahan tangisannya dengan menundukkan kepalanya.
“Jika ada waktunya bagi kita untuk bertemu lagi. Aku harap bukan kau yang berjuang untuk mendapatkan cintaku, melainkan aku yang berjuang untuk mendapatkan cintamu. Aku permisi dulu”
Bryan mengusap air matanya itu dan beranjak pergi meninggalkan Elena sendirian. Menyadari kalau Bryan tak ada di sampingnya lagi, Elena pun mengangkat kepalanya dan menutup wajahnya yang berlumuran air mata itu menggunakan kedua tangannya. Mungkin memang benar, bahwa yang paling menyakitkan dari mencintai seseorang adalah menunggu orang itu balas mencintaimu.Malamnya, semua teman teman Kathryn berkumpul di apartemennya. Mereka semua datang untuk melihat kondisi Kathryn dengan membawa buah tangan untuknya. Melihat temannya yang kini tak dapat melihat lagi membuat mereka semua merasa iba. Bukan hanya iba terhadap Kathryn saja, tapi mereka juga kasihan melihat Daniel yang ber-raut wajah pucat itu terus menggenggam tangan Kathryn meskipun Kathryn sudah duduk di sampingnya.
Lamunan Daniel seketika buyar saat tangan Wenas memegang sebelah tangannya. “Jangan murung seperti itu. Senyum dong!” ucap Wenas seraya menampilkan senyumannya.
Kathryn menghadapkan wajahnya kearah suara Wenas, “Daniel murung?”
Daniel menghadap kearah Kathryn lalu menggeleng, “Tidak, aku senyum kok” ia lalu tersenyum dengan senyuman yang terlihat di paksakan, meskipun tahu kalau Kathryn tak dapat melihat senyumannya lagi.
Kathryn tersenyum samar, “Kalian semua tak perlu merasa iba tiap kali melihatku dengan kondisi yang seperti ini. Meskipun aku tak dapat melihat wajah kalian lagi, tapi aku baik baik saja”
“Cukup!” tiba tiba James berteriak hingga membuat semua teman temannya terkejut dan menatapnya bingung.
“Sudah cukup, kalian jangan menangis lagi. Aku tesiksa ini!” rengeknya.
“Tersiksa kenapa?” tanya Sandy.
James menatap Sandy dengan mulut yang di manyunkan, “Aku lapar…”
Sandy menghela napasnya, “Sudah kuduga. Perutmu mulai mengeluarkan bunyi badai yang begitu menggelegar hingga menimbulkan rasa yang teramat sangat membuatmu tersiksa”
“Tepat sekali. Uh, Sandyku pandai sekali” kata James seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Sandy.
“Oh iya,” tiba tiba Tamika mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam kantong plastik dan membuka kotak tersebut.
“Kebetulan aku membawa kue. Sebenarnya kue ini untuk Kathryn. Tapi karena James lapar, jadi kita makan bersama saja” jelas Tamika.
Tiba tiba James langsung mengambil potongan kue tersebut dan langsung memakannya. “Kau memang friend yang the best” katanya dengan mulut yang penuh dengan kue.
Sandy menahan tawanya karena melihat mulut James yang penuh dengan kue. Kalau dilihat lihat, imut sih. Tiba tiba, muncul ide jahil yang membuat jari telunjuk Sandy mencolet sedikit krim kue dan mengoleskannya di pipi James.
“Yah, kok di olesin ke mukaku yang mulus ini sih Sandy? Kan mukaku jadi berminyak!” ucap James seraya membersihkan wajahnya itu.
Sandy tertawa, “James, kenapa kau jadi alay begini? Siapa yang ngajarin coba?”
“Daniel”
Daniel terkejut, “Aku? Dengan wajahku yang tampan bagaikan malaikat ini, kau bilang ak-”
“Tuh kan, alay”
Daniel membungkam mulutnya. Benar juga, sejak kapan Daniel menjadi alay seperti ini?
“Kathryn” panggil James.
“Hm?”
“Kau jangan ikut ikutan alay, ya”
“Dengan wajahku yang secantik ini, mana mungkin aku alay?”
“Tuh kan, alay-nya nular” James pun menepuk jidatnya.
Mereka semua pun tertawa melihat James yang menepuk jidatnya karena heran dengan semua teman temannya yang kini menjadi alay. Padahal dirinya juga alay.Setelah semua teman temannya pulang, Daniel mengajak Kathryn ke balkon apartemen gadis itu dan mendudukkannya di sebuah kursi panjang berwarna putih.
Daniel duduk di sampingnya, “Dimana ponselmu?” tanyanya.
Kathryn merogoh saku celananya, “Ini” lalu memberikan ponselnya itu ke Daniel.
Daniel langsung mengambil ponsel tersebut dan melihat isi galeri Kathryn. “Kita tidak pernah berfoto. Kenapa kau tidak minta foto bersama denganku?”
“Kalau aku minta, kau mau?”
Lalu Daniel pun menyalakan kamera ponsel Kathryn dan mengarahkan Kathryn untuk berfoto.
“Aku tampan sekali” ucap Daniel dengan percaya diri lalu langsung main di foto tanpa memberi aba aba kepada Kathryn.
“Hei, kenapa main di foto begitu?” kata Kathryn yang tahu kalau Daniel asal memotret dari suara kameranya. Daniel tertawa pelan, lalu memberi aba aba agar Kathryn tersenyum dan akhirnya berfoto.
Setelah merasa fotonya cukup, Daniel lalu mengembalikan ponsel Kathryn. Ia menghela napasnya seperti orang yang sedang kelelahan.
“Kau sepertinya lelah sekali” ucap Kathryn karena mendengar helaan napas Daniel.
Daniel mengusap wajahnya menggunakan sebelah tangannya, “Begitulah. Hari ini rasanya aku lelah sekali”
Kathryn menepuk nepuk sebelah pundaknya, “Bersandarlah padaku, dan tidurlah”
“Tidak mau. Kau pasti membangunkanku nanti”
“Aku takkan membangunkanmu. Tidurlah yang lelap”
Akhirnya, Daniel menyandarkan kepalanya di Pundak Kathryn.
“Sudah tidur?”
“Sudah”
“Masa orang tidur bisa jawab?”
Daniel hanya tersenyum samar. Selang beberapa menit, Kathryn pun bertanya lagi, apakah Daniel sudah tidur? Namun tak ada balasan yang keluar dari mulut Daniel. Kathryn menelan ludahnya yang bagaikan batu kerikil itu. Sebelah tangannya pun terangkat dan menyentuh jantung Daniel. Napasnya tiba tiba terasa berat saat mengetahui kalau jantung Daniel sudah tak berdetak lagi. Itu artinya, Daniel pamit? Apakah jangka waktu 1 bulan sudah berlalu?Dengan mata yang berkaca kaca, ia mencoba untuk tersenyum, “Baiklah, aku takkan membangunkanmu. Jadi, lupakan tentang kejadian hari ini, lupakan aku juga. Jangan mencemaskan apapun dan tidurlah. Sampai jumpa lain waktu, Daniel Jeysen”

KAMU SEDANG MEMBACA
KathNiel
RomanceKematian bukan merupakan simbol kebahagiaan. Tapi ketika kematian itu menunjukkan kedamaian untuknya, disaat ia mati dalam keadaan yang bahagia. Masihkah itu di sebut sebagai kesedihan? Kita pasti tidak menginginkan sesuatu yang buruk terjadi. Tapi...