- 17 -

1.1K 163 5
                                    

"Ga, tolong, sekali ini aja lo dengerin kata gue. Istirahat dulu, gak usah ngampus." Naviel mencengkram erat pergelangan tangan Riga.

Riga menggeleng. Ia bersikeras menarik tangannya dari genggaman Naviel.

"Ga!" Kesabaran Naviel habis, ia membentak Riga. Membuat pemuda itu terkejut, karena Naviel jarang membentaknya.

Melihat Riga yang tampak terkejut, Naviel lantas menghela napas. "Sori. Gue ke bawa emosi." Ia melepas cengkramannya dari pergelangan tangan Riga. "Lo baru istirahat semalem, Ga. Lo juga masih lemes."

Riga menatap Naviel nanar. Memang, ia akui, ia masih merasa tidak nyaman dengan keadaan tubuhnya. Namun, ada presentasi yang harus ia lakukan bersama teman sekelompoknya hari ini.

Meskipun, Riga tahu bahwa, mulai hari ini, ketika ia menginjakkan kaki di kampus, semuanya tak lagi sama. Pandangan orang terhadap dirinya akan berubah total. Mengingat, jati dirinya sebagai Reknath sudah terkuak.

Pemuda itu lantas mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja.

"Aku harus tanggung jawab sama tugasku, Viel," tulis Riga pada ponselnya.

Naviel memijit pangkal hidungnya--penat. Kejadian kemarin sudah melelahkan. Di tambah keras kepala Riga yang membuatnya menggelengkan kepala.

"Oke. Tapi nanti pas kelas kelar, tunggu gue. Jangan dengerin apa kata orang yang buat lo down," putus Naviel, lantas membuka pintu apartment Riga. Beranjak lebih dulu. Meninggalkan Riga yang masih bersiap.

Senyuman tipis terukir pada bibir Riga. Ia bersyukur memiliki sohib seperti Naviel.

.......[🎶]

Malya masuk ke dalam kelas dengan langkah berat. Ia tak bisa tidur semalaman. Ia terlalu takut pasal hari ini. Apa yang akan terjadi hari ini? Apakah topik tentang Reknath akan menjadi perbincangan hangat?

Apakah Riga baik-baik saja hari ini?

"Mal!"

Malya tersentak kala salah seorang temannya menepuk pundak dengan cukup keras.

"Gue denger kemaren yang bikin kak Naviel buka suara itu lo ya? Beneran? Jadi lo tau sebenernya Reknath selama ini ada sama kita? Ah payah lo gak ngasih tau kita-kita!"

Tercengang. Hanya itu yang dapat mendeskripsikan ekspresi Malya saat ini.

"Kok? Emang kenapa?"

"Gak papa. Pengen minta tanda tangan. Biarin dah walaupun sekarang bisu tetep bisa--"

"Dia gak bisu!" potong Malya cepat. Gadis itu tampak murka. "Kak Auriga gak bisu, tau!"

Mengentak-entakkan kaki, Malya beranjak. Ia kesal, sungguh. Mengapa semua orang mengira Riga bisu?

Ah, seandainya ia tidak pernah mencampuri kehidupan Riga, mungkin, hidupnya akan tetap tentram seperti dahulu.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Tugas Malya saat ini adalah bertanggung jawab atas masalah yang ia buat.

Ia sudah berjanji pada Naviel untuk membantunya, juga membantu Riga.

Malya tersenyum samar. Kenapa, susah sekali meyakinkan orang-orang soal Riga?

Ia duduk pada salah satu kursi kosong di dalam kelas, lantas terpekur. Pikirannya melayang pada kondisi Riga kemarin. Sungguh menyakitkan baginya.

Semoga saja, ia benar-benar dapat membantu Riga. Ia hanya tak ingin, Riga kembali seperti itu. Tak apa, tak dapat mendengar suara indah itu lagi. Namun, ia ingin melihat senyum seorang Auriga yang dulu selalu ia lihat kala mengekori sang idola di taman belakang fakultas.

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang