- 24 -

1.1K 156 11
                                    

Naviel mengacak surainya kasar. Meeting baru saja selesai dan dia sama sekali tak dapat menghubungi Riga. Dugaannya waktu itu menjadi kenyataan. Setelah mendapat kabar bahwa Riga akan membuat lagu untuk Janu, kali ini, ia di jadwalkan bertemu dengan Janu.

Pemuda itu hanya khawatir pada kondisi sang sohib. Mengingat anxiety yang ia derita, serta sikap keluarganya terhadap Riga. 

Mereka tidak ada yang tahu bahwa Egira itu Auriga.

Naviel berdecak. Tungkainya melangkah keluar dari ruangan, tak disangka, sang kakak sudah menunggu di depan.

"Kenapa?" tanyanya sembari mengulum senyuman. "Rapat tadi bikin pusing?" Lelaki itu lantas merangkul sang adik dan mengajaknya berjalan bersama.

Naviel menggeleng. "Enggak, Kak. Kepikiran Riga aja." Naviel mengembuskan napas kasar. 

"Riga kenapa?" Lelaki itu mengernyit. Ia sama sekali tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi pada Riga karena terlalu sibuk mengurus perusahaan yang bercabang dimana-mana.

Naviel menatap sang kakak lelah. "Tadi manajer Riga nelpon Viel. Katanya kepala agensi udah fix mau buat Riga ketemu sama Janu. Soalnya, bapak si Janu yang notabene aktor juga kepala perusahaan itu minta ketemu sama komposernya Janu, ya Riga itu. Kakak tau sendiri 'kan hubungan mereka gimana? Takut Riga makin jatuh aja."

Lelaki itu mengusap pundak sang adik, lantas menghela napas. "Iya sih. Tapi gimana lagi. Life goes on, Viel. Kakak yakin Riga bisa menghadapi semuanya."

Naviel mengangguk samar. "Semoga." Bukan tidak ingin memercayai perkataan sang kakak, tetapi ia yang tahu benar kondisi Riga. Entah apa yang sohibnya lakukan setelah mendengar kabar itu dari manajernya.

......[🎶]

Malya menuruni bus dengan tergesa. Tungkainya melangkah cepat memasuki kawasan apartment yang di huni Riga. Ia mengeluarkan access card dari dalam tas dan segera menaiki lift.

Jantungnya beradu dengan pikiran yang begitu kalut. Kakinya mengentak-entak lantai lift--berharap segera tiba pada lantai yang dituju.

Lift berdenting, pintu terbuka. Malya berlari kecil menuju pintu apartment Riga. Jemarinya gemetar kala menempelkan access card pada pintu. Suara bantingan terdengar pada indra pendengaran Malya.

Netra gadis itu melebar. Pintu tak kunjung terbuka. Ia sadar telah menempelkan sisi kartu yang salah. Dengan segera, Malya membalik kartu tersebut. Menempelkannya, dan pintu terbuka seketika.

Ia dapat melihat kondisi Riga yang begitu mengenaskan. Menarik-narik surainya begitu keras dengan air mata yang mengalir.

"I'm tired." Suara lirih Riga, di iringi napas yang terengah sukses membuat Malya berlari masuk.

"Kak Riga!" Tungkai Malya melangkah lebih cepat, kala Riga hendak terjatuh. Paling tidak, ia dapat menumpu kepala Riga sebelum terantuk meja.

Riga kehilangan kesadaran begitu saja. Malya terengah. Kondisi Riga berantakan. Keringat mengucur deras. Tak lupa napas satu dua yang begitu membuat Malya khawatir.

"Kak Riga? Kak Riga?"

Malya menggigit bibir bawahnya--takut. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Ia mencoba menghubungi Naviel, tetapi tak ada jawaban. Gadis itu benar-benar panik.

"Ah, ini gimana, Kak?" Malya hendak menangis kala ponselnya berbunyi. Menampakkan nama Naviel di sana.

"Kak Naviel! Ini Kak Riga, gimana?!" Tanpa basa-basi, Malya berujar dengan panik. Ia sudah ketakutan setengah mati.

"Tenang. Dia gimana?"

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang