- 26 -

1.3K 173 15
                                    

"Kak Riga, udah siap?"

Malya melangkah keluar dari kamar Riga. Mengenakan pakaian cadangan yang ia ambil secara acak di lemari sebelum berangkat.

Ia menatap Riga yang masih terduduk di atas sofa. Dengan secangkir coklat hangat di genggamannya.

Pemuda itu menoleh, mengukir senyuman tipis pada Malya. Malya menatap nanar. Meskipun Riga mencoba untuk tenang, jemarinya tetap gemetar. Ia masih ketakutan.

"Kak Riga." Malya melangkah mendekat pada Riga. Mencoba untuk menenangkan pemuda itu. "Kakak bisa, oke? It's ok, ada aku, ada kak Naviel juga."

Riga mengangguk samar. Ia lantas menatap dan mengusap kepala Malya. "Terima kasih."

Gerakan bibir yang Malya tangkap sanggup membuat gadis itu mengulum senyum. Bayangkan saja, sang idola mengusap kepalanya, membuat Malya hampir menjadi kepiting rebus.

Riga menarik napas panjang, dan mengembuskannya secara perlahan. Ia kemudian berdiri. "Ayo." Ia berujar lirih.

Rasa takut masih mengungkungnya. Ingatan masa lalu kerap kali berputar. Namun, ia berusaha untuk tidak apa-apa. Atau, akan membuat Malya dan Naviel terlalu khawatir padanya.

Riga beranjak. Jemarinya memasukkan ponsel ke dalam kantung. Kemudian, mengambil tas berisi macbook dan beberapa catatan miliknya. Bagaimanapun, ia akan bertemu klien, bukan? Ia harus bersikap profesional meskipun itu menyangkul hal pribadinya.

"Kak."

Riga menoleh--menatap Malya yang lebih pendek beberapa senti darinya. Semerbak wangi manis begitu menggelitik saraf olfaktori Riga. Netra Riga membulat kala Malya memeluk dirinya.

"Kak Riga pasti bisa. Aku percaya sama kakak."

Riga mengangguk. Ia membalas pelukan Malya. "Terima kasih."

Gadis itu melepas pelukannya, lantas tersenyum. Tanpa sungkan, ia menarik lengan Riga untuk segera melangkah.

Mereka menuruni apartment dengan lift, bergegas menuju halte tepat di samping gedung apartment. Bus telah tiba. Kedua insan itu melangkah masuk.

Pikiran Riga berkecamuk. Sepanjang jalan, ia hanya melamun. Namun, netranya terkadang teralih pada jemari Malya yang menggenggam erat jemarinya. Menautkan jemari mereka seakan tak ingin Riga menghilang di tengah keramaian.

Kehangatan yang tersalur dari jemari Malya cukup membuat Riga tenang. Ia merasa, ada seseorang yang masih berada di sisinya selain sang sohib--Naviel.

Walaupun, saat ini Naviel sedang jauh, ia merasa tenang ada Malya di sampingnya.

Bus berhenti di halte yang mereka tuju. Malya menarik lengan Riga--membuat pemuda itu sedikit tersentak. Rasanya, perjalanan menjadi begitu cepat.

"Ayo, Kak!" Senyuman terlukis di wajahnya. Namun, Riga dapat menangkap sorot khawatir dari tatapan mata seorang Malya.

Ia merelakan lengannya ditarik oleh Malya. Membuat Riga terpaksa melangkah menuruni bus.

Ah, tak bisakah waktu di perlambat?

Riga tak ingin bertemu mereka secepat itu.

"Um, Kak. Aku gak tau ini kemana," cicit Malya, lantas berhenti tepat di pintu depan gedung agensi.

Riga mendengkus. Kali ini, gilirannya menarik lengan Malya. "Makanya, jangan sotoy." Gerakan bibir yang mengisyaratkan ia sedikit sebal dengan tingkah Malya pun terbaca oleh gadis itu.

Bibirnya mengerucut seraya pasrah ditarik oleh Riga masuk ke dalam.

"Sepertinya aku kenal."

Riga tersentak. Langkahnya terhenti seketika. Ia sangat mengenal suara ini. Suara bariton yang begitu khas.

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang