- 27 -

1.3K 163 17
                                    

Naviel menatap ponselnya yang terus menampilkan panggilan missed call dalam mode silent. Ia gelisah. Meeting hari itu belum selesai. Ia juga tak enak jika izin pulang lebih dulu, mengingat posisinya cukup penting sebagai anak pemilik perusahaan.

Maka, selama hampir tiga jam, Naviel hanya dapat menahan rasa cemas sampai meeting usai.

Kala meeting usai, pemuda itu izin ke luar terlebih dahulu dengan dalih 'kebelet'. Naviel bergegas seraya mengeluarkan ponsel. Ia cemas setengah mati. Jantungnya berdebar tak beraturan. Ada apa hingga Janu dan Malya menghubunginya bergantian?

Ia segera men-dial nomor Malya. Tak butuh lima detik, Malya telah mengangkat teleponnya. Malya tak berbicara. Hanya bising keramaian yang menyambut indra pendengaran Naviel.

"Mal? Kenapa Mal?" tanya Naviel cepat. Malya tak kunjung membuka suara. Hal itu membuat debaran jantung Naviel semakin tak beraturan.

"Kak Riga." Suara Malya terdengar begitu lirih dan sedikit bergetar.

Hal itu membuat Naviel terbelalak. "Riga kenapa?!" sahut Naviel. Sedikit terkejut. "Pertemuannya lancar?" Pemuda itu mengacak surainya kasar. Mana mungkin lancar jika Malya dan Janu sampai menghubunginya terus menerus?

Tungkainya melangkah semakin menjauh dari ruang meeting. Beberapa pekerja tampak melewatinya dan sedikit membungkuk--tanda menghormati putra pemilik perusahaan mereka.

Pemuda itu berdecak. "Malya!" Ia sontak sedikit berteriak. Kesal karena Malya tak kunjung menjawabnya. Sebenarnya ada apa?

Alih-alih mendengar jawaban, Naviel malah mendapati Malya yang menangis. Ia menghentikan langkah secara tiba-tiba.

Naviel tidak bodoh. Sesuatu yang buruk mungkin telah terjadi. Dan sialnya, ia berada begitu jauh dari Indonesia. Gestur tangannya membuat salah satu pelayannya menghampiri.

"Tolong pesankan tiket ke Indonesia sekarang juga." Naviel berucap tanpa mengalihkan pandangan dan atensi dari ponselnya.

"Tapi masih ada beberapa meeting, Tuan Muda Naviel. Bagaimana dengan tuan Kael?"

Naviel memicingkan mata kala nama sang kakak di sebut. Ia sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya. Benar juga. Ia harus mengurus izin dari sang kakak.

"Pesan saja dulu! Sebentar lagi aku bilang ke kakak." Nada bicara Naviel meninggi. Ia sedikit membentak pelayan keluarganya tersebut.

Lelaki itu ciut. Ia mengangguk. "Tapi maaf, Tuan Muda. Pesawat kita tidak akan bisa di gunakan karena masih ada proses pemeliharaan oleh pihak perusahaan. Jadi--"

"Sudah kubilang pesan tiket saja!" Naviel menatap nyalang. Ia terlampau kesal. Sudah cukup ia khawatir tentang Riga di sana. Jangan di tambah dengan tingkah menyebalkan pelayannya.

"Kak Viel."

Suara dari ponsel mengalihkan atensi Naviel. Pemuda itu kembali menatap sang pelayan--menyuruhnya segera melakukan perintah. Lelaki itu mengangguk kikuk sebelum akhirnya berlari entah kemana. Naviel tidak peduli.

Ia mendekatkan ponselnya kembali ke telinga. "Janu?"

Pemuda itu mengacak surainya pelan. Kenapa Janu bisa berada di tempat yang sama dengan Malya?

"Iya, Kak. Ini Janu."

Terdengar suara embusan napas berat dari seberang.

"Kenapa, Nu? Kenapa kamu ada sama Malya? Gimana keadaan Riga?" Naviel sudah merasa ada yang tidak beres. Tentu saja, untuk apa Janu dan Malya bersama?

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang