- 21 -

1.1K 164 11
                                    

"Tuan Naviel, anda sudah membaca laporannya? Baru saja dikirimkan oleh Tuan Besar." Naviel menoleh, lantas mengangguk seraya menerima macbook yang pelayannya bawakan.

"Terima kasih," ucap Naviel. Lantas, pelayan itu undur diri. 

Naviel mengembuskan napas kasar. Ia terpikirkan akan kondisi Riga. Ia tak dapat menemani sang sohib karena tiba-tiba saja ia harus berangkat menuju Jepang. Segera mengurus salah satu perusahaan sang papa yang sedang kolaps. 

Dan malam itu pula, ia berangkat menaiki pesawat pribadi keluarga Kamaron. Terbesit di ingatan, kondisi Riga yang begitu kacau. Ia bahkan tak sempat untuk berbicara banyak dengannya. Dengan terpaksa, ia harus meninggalkan Riga bersama Malya.

Naviel memijit pangkal hidungnya--penat. Terlalu banyak hal yang harus ia urus. Ini baru pertama kali Naviel pergi untuk mengurus salah satu perusahaan cabang di luar negeri. Tidak, bukannya tidak ingin. Ia belum terbiasa mengurus sesuatu yang lebih besar dari kepemilikan gedung apartment dan saham beberapa usaha. 

"Kenapa, Viel? Lagi ada masalah?" Naviel menoleh pada sang kakak, kemudian menggeleng pelan. Ia tidak sendiri. Ia di utus bersama sang kakak yang sudah cukup berpengalaman. Tujuan utama sang papa hanyalah untuk memberi Naviel kesempatan memelajari usaha keluarga mereka. 

"Terjadi sesuatu sama Riga?" tanyanya lagi. 

"Kinda." Naviel berujar lirih. Ia mengedikkan bahu sembari kembali mengembuskan napas.

"Don't worry. I believe he's ok." Lelaki itu mengulas senyum, dan kembali terfokus pada macbook di hadapan sembari menyesap kopi panas. 

Naviel mengangguk dan tersenyum samar. Ia selalu lega kala keluarganya begitu peduli pada Riga. Tak heran, keluarga mereka mengenal Riga semenjak pemuda itu berumur lima tahun. Bahkan, ketika Riga dicampakkan oleh keluarganya, keluarga Kamaron dengan senang hati membantu Riga. 

Namun, Riga sedang tidak baik sekarang, dan Naviel tidak tahu apa sebabnya. Ia hanya dapat memercayakan Riga pada Malya saat ini.

..... [🎶]

"Sore, Kak Riga." Malya masuk begitu saja ke dalam apartment Riga. Ia memiliki access card dari Naviel untuk mengunjungi Riga. Meletakkan tote bag, Malya kemudian melangkah untuk mencari Riga.

Bukan hal yang sulit. Gadis itu kembali menemukan Riga yang masih meringkuk di atas sofa. Tak bergeming sedikitpun, bahkan tidak berminat untuk pindah ke dalam kamar. Namun, Riga sempat melirik pada Malya dan tersenyum samar.

"Kakak udah enakan? Makan yuk, Kak!" Malya berujar seraya membuka tirai ruangan. Membiarkan sinar mentari sore menyeruak masuk. Membuat netra Riga sedikit memicing karenanya.

Malya menatap nanar. Ia baru dapat berkunjung di sore hari. Ketika kelas sudah selesai. Jika pagi, ia takut akan terlambat jika menyempatkan diri untuk mampir ke apartment Riga.

Riga kemudian duduk. Sedikit memegangi kepala yang di rasa sakit dan terus berdenyut.

Kondisi Riga tak jauh beda dari kemarin. Tampak begitu kosong. Namun, Riga sama sekali belum berminat untuk mengatakan apa yang sedang terjadi.

"Kak Naviel gak bisa ke sini buat beberapa hari ke depan." Riga menoleh. Menatap Malya yang membuka dua bungkus makanan. "Kak Naviel ke Jepang."

Riga tersentak. Jepang? Untuk apa?

Malya melangkah, kemudian meletakkan dua bungkus makanan tadi tepat di hadapan Riga. Di meja tempat ia biasa bekerja.

"Kak Naviel lagi ngurus perusahaan yang di Jepang, kalo kakak mau tau." Malya tersenyum, jemarinya beranjak menggenggam jemari Riga. "Kakak gak mau cerita sesuatu?"

Riga membeku. Netranya bertemu dengan milik Malya. Gadis itu menatapnya penuh kekhawatiran. Padahal, awalnya Riga begitu tidak menyukai Malya yang ikut campur terhadap kehidupannya. Namun, kenapa genggaman jemari Malya begitu hangat baginya?

"Yaudah, makan dulu aja yuk, Kak." Malya melepaskan genggamannya. Menatap Riga yang tak bergeming dengan tatapan terkejut. Mungkin, ia terlalu merasa dekat padanya. Mengingat, kesan pertamanya dulu sangat tidak di sukai, baik oleh Riga--sang idola, maupun Naviel.

Pemuda itu mengambil ponsel, lantas mengetik sesuatu di sana. 

"Aku gak tau harus cerita dari mana."

Suara google voice yang terdengar nyaring mengalihkan atensi Malya. Gadis itu mengurungkan niat untuk menyuap makanannya.

Malya menatap Riga. Membiarkan pemuda itu mengetik dengan cukup fokus.

Tak lama kemudian, suara google voice kembali terdengar nyaring. Kali ini lebih panjang. "Kemarin, aku dapat telepon dari agensi. Katanya, aku dapat proyek baru. Membuatkan lagu untuk penyanyi baru yang baru saja bergabung dengan agensi. Dan ternyata, penyanyi itu Janu. Adikku. Aku bener-bener gak tau harus merespons apa selain anxiety yang kembali menyerang. Aku takut."

Malya menatap nanar Riga yang sedang kembali mengetik. Ia tak berani untuk memotong perkataan Riga. 

"Aku takut bertemu kembali dengan mereka. Dengan ayah, ibu, kedua kakakku. Perkataan menyakitkan mereka selalu terngiang dalam benak. Aku benar-benar gak tahan lagi. Semua ingatan masa lalu terus berdenging, membuat setiap bagian dalam tubuhku kesakitan. Aku hanya takut. Apalagi, jika mereka tahu aku yang membuat lagu untuk anak mereka, gak menutup kemungkinan karyaku tidak akan mereka terima. Bahkan mungkin, saat itu juga, Janu akan di pindah ke agensi lain. Aku hanya anak gagal di keluarga. Seketika, aku tidak punya semangat hidup. Semua seakan di renggut. Sekujur tubuhku gemetar hebat. Dadaku sesak, kepalaku terus berdenyut ketika ingatan itu kembali. Aku tidak ingin melakukan apapun."

Suara panjang google voice di tutup oleh keheningan. Riga tak berani menatap Malya. Sedangkan, Malya tak tahu lagi harus berbicara apa selain memeluk erat tubuh kurus Riga. Pemuda itu terkejut bukan main.

"Maaf, Kak. Aku gak tau beban yang kakak pikul seberat ini. Sedangkan aku dengan seenaknya ikut campur dalam kehidupan kakak. Sekarang, ada aku dan kak Naviel. Jangan selalu di simpan sendiri."

Mata Riga memanas. Ia membalas pelukan Malya. "Terima kasih."

One Day One Chapter Challenge#Day22

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

One Day One Chapter Challenge
#Day22

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang