- 16 -

1.2K 165 15
                                    

Naviel melirik Riga yang belum juga membuka mata. Apakah tidak apa memberi tahu Malya soal kondisi Riga? Toh, Malya juga bertanggung jawab atas kejadian ini.

Ia menggeleng. Tidak. Ia yang bertanggung jawab. Salahnya berkata hal seperti itu di tengah keramaian.

Naviel merutuki kebodohannya yang semakin menjadi. Kini Riga terbaring di ranjang dengan masker oksigen dan infus yang menancap di punggung tangan kirinya.

Sudah berbulan-bulan semenjak Naviel melihat Riga seperti ini. Meskipun, kata dokter yang menangani Riga, sohibnya itu boleh pulang nantinya.

Ia menghela napas kasar.

"Masnya kok galau gitu sih? Jadi kasian."

Naviel berdecak, ia menatap nyalang. "Gak  usah ganggu gue, hantu laknat. Pergi sana!"

Sosok wanita itu ciut. Lantas mundur perlahan menembus dinding.

Salahkan Naviel yang sedang sensitif.

Ponsel Naviel berdering, dengan sedikit takut, Naviel mengangkat panggilan tersebut.

"Mas! Mama dapet kabar dari dokter Rivai, katanya Riga kambuh? Kok bisa?!"

Naviel sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya kala terdengar suara sang mama yang begitu menggelegar.

"Salah mas, Ma." Naviel mengembuskan napas. Menatap langit-langit ruangan. Menunggu jawaban dari sang mama.

"Apaan sih, gak lah! Terus nanti pulangnya kemana? Mama gamau ya Riga sendirian di apartment. Bawa dia ke rumah, atau kamu nginep di sana."

Naviel mengangguk samar. "Iya. Nanti mas bawa ke rumah aja. Atau gimana nanti terserah Riga, gampang."

"Yasudah. Kamu temenin Riga dulu. Duh, anaknya mama ... salam sayang ke Riga ya, Mas! Mama love you both!" Suara kecupan dari mama menutup sambungan telepon di antara mereka. Naviel menatap nanar ponsel ditangannya.

Pemuda itu kemudian berdiri--berniat untuk mencari udara segar. Berusaha menenangkan diri dari segala tekanan yang mengungkungnya.

Sedikit melirik pada Riga, Naviel pun beranjak. Tungkainya melangkah ringan membuka tirai IGD dan menyapa beberapa dokter yang sedang bertugas dengan senyuman samar.

Putra pemilik rumah sakit memang berbeda.

Belum keluar dari gedung rumah sakit, ia berpapasan dengan Malya yang tergopoh. Gadis itu bahkan tampak begitu terengah, dengan totebag pada pundaknya.

"Kak Naviel!" Malya tersenyum. Ia lega dapat menemui Naviel. Sungguh timing yang tepat.

Naviel mengukir senyuman tipis, lantas melangkah mendekat pada Malya. "Cepet banget," tukasnya seraya menepuk-nepuk pundak Malya. "Capek?"

"Ish, soal aku gapenting. Kak Riga dimana? Gimana?" Malya masih tampak mengatur napas. Namun, raut khawatir begitu jelas terlukis pada wajahnya.

"Riga di dalem. Masuk aja. Ada di tirai paling pojok. Gue mau beli minum sekalian cari angin. Titip Riga dulu ya, Mal." Naviel menepuk pundak Malya pelan, lantas berlalu.

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang