- 9 -

1.3K 177 12
                                    

Naviel menguap. Jalanan di hadapannya sungguh sepi. Lantas, netranya beralih pada Riga yang melamun memandangi jalan raya.

Setelah kejadian tadi kala Naviel memutuskan untuk berbicara pada Malya, agensi Riga menghubungi untuk segera mengirim hasil kerja Riga.

Tak ayal, hal itu membuat Naviel segera menjemput Riga, dan berakhir mengantar sohibnya ke kantor agensi di jam tujuh malam.

Jangan tanyakan kenapa agensi menghubungi Naviel, bukannya Riga. Karena, sesungguhnya lima puluh persen saham agensi berada pada tangan keluarga Naviel--ah tidak, pada tangan Naviel, tepat setelah Riga tak bisa bernyanyi kembali . Lalu, mengingat Riga merupakan orang terdekat Naviel, dan tentu saja tak dapat berbicara jika di telepon, agensi pun selalu menghubungi Naviel jika ada suatu hal yang menyangkut Riga dan pekerjaannya.

"Tadi gue ketemu Malya."

Riga tampak sedikit tertarik mendengar perkataan Naviel. Ia kemudian menoleh dengan pandangan bertanya-tanya.

"Gue bilang dia buat berenti gangguin lo. Gue tau lo kesel dan muak di ganggu sama dia." Naviel berdecak. "Dia bilang pengen bikin lo nyanyi lagi. Tapi 'kan gak perlu bawa-bawa Janu! Ngapain coba?!"

Naviel kesal sendiri. Ia melirik pada Riga yang hanya menghela napas dan memilih bungkam. Pemuda itu tampaknya sudah terlalu lelah membahas perihal Malya.

Tak lama setelah itu, Naviel menghentikan laju mobil. "Udah sampe."

Riga mengangguk samar. "Aku aja yang turun, bentar doang," ujar Riga melalui gerak bibirnya, kemudian menyiapkan berkas yang harus di serahkan.

Naviel mengangguk dan menarik rem tangan. "Ok. Jangan lama-lama."

Riga tersenyum dan menuruni mobil. Naviel melihat Riga yang kemudian masuk ke dalam kantor. Pemuda itu mengembuskan napas.

Ingatan tadi sore kala ia bertemu Malya masih tercetak jelas. Namun, ah sudahlah. Naviel pun sudah tak dapat berkata-kata lagi. Ia harap, Malya berhenti meneror Riga setelah ini.

Ponsel Naviel berdering. 'Mama' terpampang di sana. Naviel mengernyit, ia lantas mengangkat panggilan itu.

"Kenapa, Ma?"

"Mas, Riga ajak ke sini ya. Makan malem bareng. Kamu sama Auriga, 'kan?"

Naviel mendengkus. Kenapa mamanya selalu tahu ia sedang bersama siapa?

"Iya, Ma. Mas lagi nganter Riga ke kantor, nyerahin kerjaan. Emang lagi pada kumpul?" jawab Naviel sembari mengusap tengkuknya. Dapat ia rasakan hawa dingin mulai menusuk. Ekor matanya menangkap sosok anak kecil yang kini sedang duduk di bangku belakang.

"Woi! Pergi lo dari sini! Ganggu hawa aja!"

"Kenapa, Mas?"

"Biasa, anak kecil penunggu kantornya Riga main."

Suara tawa sang mama terdengar jelas. "Yaudah, jangan kemaleman kesininya. Mama tunggu kalian di rumah, love you!"

Panggilan di putus sepihak. Naviel menghela napas. Ia mendengar suara tawa lirih anak kecil yang masih duduk di belakang.

"Dek, udah malem. Sana balik. Gue capek, besok gue bawain temen deh."

Tawa cekikikan terdengar. Anak itu berlari menembus pintu mobil. Naviel hanya dapat mengelus dada.

Capek.

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang