- 29 -

1.9K 182 10
                                    

Riga benar-benar tak berniat melakukan apapun. Dia hanya ingin mencari angin. Tubuhnya terasa lebih ringan di banding ketika bangun sore tadi.

Tungkainya melangkah menaiki tangga. Ia sudah hafal betul tiap sudut rumah sakit ini. Maka, tujuan utamanya adalah roof rumah sakit. Hanya di sana tempat ia dapat menenangkan diri. Menetralisir segala ketakutannya.

Ia bersandar di pagar pembatas. Menikmati angin malam yang membelai surai hitamnya. Menghirup dalam-dalam angin malam yang cukup dingin.

Persetan dengan dia yang tak dapat terkena angin malam. Hanya itu yang dapat menenangkan hati dan pikirannya. Ditambah, gemerlap cahaya yang terlihat sangat jelas di malam hari, tampak begitu indah.

"Kak Riga?"

Riga di buat terkejut kala sosok Janu terlihat. Tubuhnya gemetar seketika. Sialan. Dia sudah berusaha untuk tetap tenang, tetapi kenapa? Lagi-lagi, dan lagi dan lagi. Tolong, Riga lelah.

"Kak, jangan takut. Aku sendirian di sini."

Mendengar perkataan Janu, Riga merasa sedikit tenang. Paling tidak, jika hanya ada sang adik, ia tidak terlalu merasa ketakutan.

Riga berlanjut menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. Tak terlalu memedulikan kehadiran Janu di belakangnya.

Ia tak merencanakan apapun. Sungguh. Ia hanya ingin menikmati angin malam. Menenangkan pikirannya yang terus meronta setelah kejadian kemarin, bahkan hingga ia tak sadarkan diri.

Riga mengambil napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. Pemuda itu beranjak untuk duduk di atas pagar.

Sontak, Janu panik dan menarik sang kakak.

"Kakak ngapain?!" pekik Janu.

Riga hanya tersenyum, dan menggeleng. Suaranya masih susah dikeluarkan. Ia harap, Janu dapat membaca gerakan bibirnya, karena ia sama sekali tak membawa note book ataupun ponsel.

"Mau duduk di sini aja."

Janu menangkap gerakan bibir Riga dengan baik. Namun, ia menggeleng.

"Bahaya, Kak!"

Riga hanya mengulum senyum. "Kamu kenapa bisa di sini? Kedua kakakmu gak marah?" Riga menggerakkan bibirnya. Kemudian, kembali menatap gemerlap cahaya yang begitu memikat. Membalikkan tubuhnya, dan membiarkan kakinya menggantung pada pagar pembatas.

Janu yang was-was akan tindakan Riga membalas pertanyaan yang tadi baru ia tangkap.

"Aku lepas hubungan dengan mereka, Kak." Janu mengembuskan napas. Matanya tampak berkaca-kaca. "Maafin Janu yang gak pernah berani belain kakak. Maafin Janu, semuanya jadi seperti ini. Kehadiran Janu di kehidupan kuliah kakak cuma ngancurin diri Kak Riga pelan-pelan." Pemuda itu tak berani menatap punggung sang kakak yang menghadap luar. Riga masih tak bergeming--tetap setia menatap gemerlap cahaya dan menikmati angin malam.

"Kakak jangan di situ. Turun, Kak." Janu kembali membuka suara. Ia hanya takut sesuatu terjadi pada Riga.

Padahal, Riga benar-benar tak ingin melakukan apapun. Itu sudah merupakan suatu kebiasaan baginya kala menjalani rehabilitasi ataupun di rawat.

Usapan lembut pada kepalanya menyadarkan Janu. Ia dapat melihat sang kakak berbalik menghadapnya. Jongkok di atas pagar pembatas yang cukup tebal dan lebar. Riga tersenyum hangat.

"Terima kasih, Janu." Suara serak Riga terdengar. Kali ini begitu lirih.

Janu merasa tak pantas menerima ucapan seperti itu dari Riga. Dari sosok kakak yang telah ia sakiti karena kebodohannya dahulu.

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang