Menuju kampus, Aiza tidak henti-hentinya meringis akan kelupaannya tadi pagi. Lupa memasang hijab tidak pernah ada sebelumnya dalam kamus Aiza. Dulu Fara selalu mengajari Aiza dan Arisha untuk menggunakan hijab jika keluar kamar. Ini karena kejadian dulu yang membuatnya menjaga rambutnya. Pernah saat SD ada tamu Ali yang duduk di sofa, Aiza tidak tahu dan saat itu sedang keluar kamar, ia menangis karena rambutnya kelihatan. Fara yang melihat itu tersenyum, lalu menasihatinya, jika takut rambut kelihatan cukup menggunakan hijab keluar kamar atau setidaknya melihat dulu dari pintu.
Notifikasi dari ponsel yang berbunyi membuat Aiza memelankan langkahnya, setelah melihat nama Fakhri yang tertera, ia langsung membukanya. Mengenai Fakhri, Aiza jadi malu sendiri setelah memasang hijab kembali di hadapan Fakhri. Aiza tidak bicara seperti biasa, padahal sebenarnya ada sesuatu yang ingin dikatakannya mengenai pernikahan Arisha.
Mas Fakhri:
Kamu saja. Saya sibuk.
Aiza mengerucutkan bibirnya. Padahal ia sudah berharap Fakhri bisa menemaninya nanti. Mengingat pernikahan Arisha yang tinggal menghitung hari membuatnya merasa harus membelinya. Tapi sepertinya Aiza berubah pikiran saat ini, ia malah bernapas lega. Setidaknya ia tidak bertemu Fakhri, jujur masih malu. Aneh memang, padahal tidak apa jika Fakhri melihat rambutnya, hanya saja ia sendiri belum terbiasa.
Aiza Humairah:
Ya udah, Mas, kalau gitu nanti Aiza izin, ya?
Mas Fakhri:
Hm. Hati-hati.
Senyum Aiza melebar, tidak pernah sebelumnya seperti ini. Pertama kali dalam sejarah pernikahannya Fakhri mengatakan 'hati-hati.' Setelah kembali membalas, Aiza membuka room chat-nya dengan Fani. Pergi sendiri rasanya tidak mengenakkan, apalagi mencari sendiri. Mungkin lebih baik ia minta ditemani Fani saja selesai kuliah.
Fani:
Oke.
Aiza tersenyum mendapati balasan dari sahabatnya. Fani yang kenal dekat dengan Arisha membuatnya juga ingin membeli kado untuk Arisha.
***
Setelah memarkirkan motor di parkirkan, Aiza membuka helmnya dan memilih duduk sambil mengecek ponsel untuk mengetahui posisi sahabatnya.
"Gue udah sampai." Bisikan halus di dekat telinga membuat Aiza terlonjak kaget. Setelah melihat siapa pelakunya, ia langsung melotot kesal pada Fani yang malah ketawa.
"Assalamualaikum, Nyonya Fakhri."
"Waalaikumussalam."
Aiza turun dari motor sambil mengerucutkan bibir. Fani yang melihat itu terkekeh.
"Jelek amat, Bu, wajahnya."
"Kesal sama kamu. Udah, ah, ke dalam."
Fani melangkah masuk bersama Aiza.
"Jadi lo mau beli apa?" Kini Aiza dan Fani sudah menaiki eskalator menuju lantai dua.
"Apa, ya?" Ia kebingungan sendiri memberikan hadiah apa di pernikahan kakaknya.
"Ya udah, ikut gue aja. Lo nanti bisa pilih," putus Fani yang dianggukinya.
Setengah jam mencari akhirnya keduanya selesai memilih hadiah, mereka langsung membungkusnya di sana dan membawanya menuju motor.
"Fan, tunggu."
"Kenapa?"
Aiza tersenyum menatap jam tangan ada di deretan etalase, sebuah jam yang terlihat bagus. "Aiza mau beli jam buat Mas Fakhri."
***
Jam tujuh malam, Aiza tersenyum senang melihat masakannya sudah tersaji. Di tengah mengambil gelas, ia melirik ponsel yang baru saja menampilkan notifikasi balasan dari Fakhri. Aiza tersenyum dan langsung membuka pesan dengan semangat.
Mas Fakhri:
Kamu nggak usah siapin makanan buat saya, hari ini saya lembur lagi. Nanti langsung tidur, jangan tungguin saya.
Senyum Aiza pudar, helaan napas kecil terdengar dari bibirnya. Ia melirik makanan yang sudah tersaji dengan sendu. Sudah empat hari Fakhri terus lembur, bahkan kini lembur lagi. Perhatian Aiza teralih ke luar jendela, hujan bahkan akhir-akhir ini setia membasahi bumi, tidak jarang udara dingin yang kini ikut menusuk kulit. Entah kenapa Aiza jadi khawatir akan kesehatan Fakhri. Empat hari yang lalu Fakhri sering pulang larut. Pagi tadi Fakhri sudah bersin-bersin dan flu karena hujan kemarin, ia jadi takut Fakhri bisa terserang demam.
Aiza Humairah:
Jangan lupa makan malam, ya, Mas
***
Sehabis Isya, Aiza memilih menghabiskan waktu dengan membersihkan rumah. Apa pun dilakukannya, baik itu sekadar membersihkan debu yang melekat di ruangan maupun membersihkan kamarnya sendiri yang padahal sudah rapi. Aiza
meregangankan tangannya begitu sudah selesai, ia kini duduk di meja makan menopang dagu. Matanya sudah terlihat sayu karena mengantuk. Aiza melirik pintu rumah yang tertutup.
"Mas Fakhri masih lama, ya?"
Aiza menjatuhkan kepalanya di atas meja makan, jika boleh ia ingin Fakhri segera sampai di rumah sekarang. Waktu sudah menunjukkan jam dua belas malam dan Fakhri belum kunjung pulang.
Tin!
Baru masuk ke alam mimpi Aiza terpaksa menarik dirinya ke alam nyata begitu mendengar klakson mobil. Masih dengan mata berat, ia berjalan menuju jendela dengan menyibak sedikit tirai. Bisa ia lihat mobil Fakhri kini sudah masuk ke halaman. Aiza mengucek matanya dan kemudian berjalan membuka pintu.
Melihat Fakhri yang memijit pelipisnya membuat Aiza khawatir sendiri, ditambah Fakhri kini terdengar bersin-bersin.
"Kenapa belum tidur?"
Aiza nyengir, menyalami tangan Fakhri yang sudah menutup pintu. "Aiza tungguin Mas."
Fakhri berjalan masuk lebih dalam. "Tolong buatkan saya teh hangat, nanti antar ke kamar," suruh Fakhri. Aiza mengangguk patuh.
***
Follow Ig : storyhusni_
⭐⭐⭐⭐⭐
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]
Teen FictionFollow dulu sebelum baca || Tersedia di Gramedia dan Toko Buku Online Aiza Humairah, gadis salehah yang menyukai laki-laki bernama Fakhri Alfarezel dalam diam. Lelaki tampan yang memiliki prestasi membanggakan. Tidak ada yang tahu perasaannya ke Fak...