"Sabar memang tidak ada batasnya. Namun bertahan, ia pasti ada batasnya."
Aiza Humairah
Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Ketika semua masalah menimpa, ketika tidak ada lagi sandaran yang ia dapat, ketika rasanya hidup begitu tidak berarti, hanya Allah lah satu-satunya tempat mengadu.
Bersujud di atas sajadah, memilih bercerita akan segalanya, memilih menyebut asma Nya sebanyak-banyaknya. Hal ini yang dilakukan Aiza hingga rasa sakit terasa berkurang.
Aiza mematut dirinya di cermin. Bibir yang sedikit pucat itu kini mencoba tersenyum walau harus terpaksa.
Pagi setelah menyiapkan sarapan, Aiza sudah rapi dengan gamis dan khimar senada. Pagi ini ia harus mengikuti UAS walaupun kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja. Setelah mengambil tas dan berapa buku yang dibutuhkan, Aiza melangkahkan kakinya menuju kamar Fakhri.
Aiza menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya panjang, sebelum mengetok pintu. Aiza lebih dulu menetralisir hatinya yang tidak bisa ia jelaskan.
"Mas,"
Hening.
Tidak ada jawaban dari Fakhri. Aiza kembali mengetok pintu.
"Mas, sarapan dulu yuk! Sarapannya udah Aiza hidangin." Aiza mengetuk pintu lagi, bahkan ini sudah kelima kalinya, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Aiza mengernyit kecil. Lalu melirik jam di lengannya yang kini menunjukkan jam enam pagi. Fakhri bisa telat jika tidak sarapan sekarang.
Dengan ragu, Aiza memberanikan diri membuka pintu setelah sebelumnya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia akan terima jika Fakhri nanti marah karena sudah lancang memasuki kamar.
Membuka pintu, Aiza mengucapkan salam. Matanya menyisir melihat kamar yang terlihat kosong dan sudah rapi. Namun satupun ia tidak melihat keberadaan Fakhri di dalamnya.
"Apa di kamar mandi?" Aiza berjalan lebih dalam, mengetuk pintu kamar mandi dengan pelan. Namun kembali tidak mendapat jawaban. Saat membuka pintu pun di dalam pun tidak ada orang.
Aiza menghembus napas seiring kecewa yang menyergapi hati. Fakhri sudah pergi dan kembali melewatkan sarapan pagi. Bahkan ini sudah ke dua kalinya. Apa sebegitu menyesalnya Fakhri menikah dengannya hingga tidak lagi berkenaan mencicipi sarapan yang dibuatnya?
Aiza menghapus air mata yang lancang membasahi pipinya. Langkahnya berjalan cepat menuruni tangga dengan hati yang menjerit ngilu. Aiza menyimpan semua hidangan ke lemari makan, meraih tas dan berjalan menuju motor. Nafsunya mendadak hilang untuk sekedar sarapan pagi.
Mas Fakhri
[Assalamu'alaikum.Hari ini Aiza ada ujian pagi. Aiza Izin ya. Mas jangan lupa makan]
Setelah mengirim pesan, Aiza melajukan motornya membelah jalan raya. Udara pagi yang dingin tidak membuatnya sedikitpun mendesis. Yang ada hanya lamunan panjang akan nasib rumah tangganya yang semakin kelabu.
***
Kali ini Aiza benar-benar melewatkan sarapan paginya, padahal ini sudah jam sebelas siang, tapi ia tidak kunjung mengisi perutnya ataupun berniat mencicipi makanan sedikitpun di kantin. Helaan napas yang sudah beberapa kali kembali terdengar dari bibirnya. Mata yang tadi menatap kosong buku kini kembali sendu seiring kepala yang dibenamkan di atas meja. Kali ini pikiran Aiza hanya tertuju pada masa rumah tangganya. Masalah rumah tangga yang bahkan tidak lagi terlihat ujungnya. Ini sudah hari ke dua Fakhri tidak makan di rumah, bahkan Fakhri lebuh mendinginkannya.
Aiza menghela napas pelan, mengangat kepalanya dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
"Aiza... gue chat nggak dibalas taunya di sini!"
Aiza meringis pelan, menghentikan segala pikirannya dan menurunkan tangannya. Ia menoleh menatap Fani yang berteriak kesal kini berkacak pinggang di sampingnya. Aiza menhela napas pelan.
"Perpusatakaan Fan! Kamu bisa kena marah."
"Bodo ah." Fani menduduki dirinya sambil mengembung pipi kesal. Sementara Aiza kini memilih menutup buku yang sedari tidak dihiraukannya.
"Gue telfon kenapa nggak diangkat?"Aiza menoleh menatap Fani yang masih marah..
"Ponsel Aiza sengaja silent, biar nggak ganggu saat ujian."
Fani mengerucutkan bibir, lalu menghadapkan badannya menatap Aiza. "Ya udah yuk makan. Gue sengaja belum makan nungguin lo, Za."
"Fani aja ya? Aiza nggak laper."
"Yah Za, gue udah nungguin," rengek Fani membuat Aiza menghela napas lagi.
"Aiza kan nggak ada nyuruh nunggu."
"Lo mah." Fani mengembung pipi dengan menghadap ke arah lain, tangannya juga ia bekap saking kesalnya. Aiza yang melihat itu terkekeh. Seperti anak kecil saa..
"Ya udah yuk!" Aiza beranjak setelah menyimpan buku. Fani tersenyum lebar , mengangguk semangat lalu berdiri menyusul Aiza yang sudah keluar dari perpustakaan.
"Aiza nemanin aja ya?"
"Emang lo udah makan?"
"Udah."
"Kapan?"
"Semalam." Fani melongo tak percaya mendengar penuturan Aiza yang bahkan terdengar bukan jawaban. Sahabatnya itu bahkan menjawab begitu santai.
"Kenapa nggak sarapan? Lo ada masalah?"
"Nggak." Bohong Aiza, hatinya kini beristighfar memohon ampun. Aiza ingin saja bercerita, malah ia merasa butuh seseorang untuk menceritakan lukanya, namun Aiza jelas tahu ia tidak boleh menceritakan masalah keluarganya. Ini masalahnya dengan Fakhri. Biarlah ia sendiri yang kembali memendamnya sendiri sampai menyerah memang menjadi pilihan terakhirnya.
"Jangan bohong ya, Za. Lo akhir-akhir ini sering ngelamun. Kak Fakhri nggak nyakitin lo kan?"
Rasanya Aiza ingin menangis saja saat ini. Mengingat Fakhri yang terang-terangan mengatakan mencintai Kakaknya dan menyesal menikah dengannya. Rasanya begitu sakit dari apapun. Tidak ada hati yang masih bisa baik-baik mendengar lontaran dari mulut orang yang dicintai.
"Nggak, Fan," ucap Aiza tersenyum, ia masih saja menutupi lukanya, dan tanpa sengaja membiarkan luka itu semakin lebar menyakiti dirinya.
"Fani mesan apa? Biar Aiza pesanin sekalian," ucap Aiza ketika mereka sudah menduduki diri di bangku yang mengarah ke taman. Aiza meletakan tasnya di meja lalu menatap Fani yang kini mengerucut kesal karena Aiza yang mengalihkan pertanyaan.
"Nasi goreng aja, minumannya lemon." Aiza mengangguk. Berlalu memesan makanan dan minuman. Sementara Fani menatap punggung Aiza dengan seribu tanda tanya. Entah kenapa ia yakin ada sesuatu yang ditutupi sahabatnya. Namun Fani cukup sadar diri ia tidak boleh terlalu mengoreksi apa yang terjadi. Biarlah Aiza sendiri yang nanti menceritakan itu kepadanya.
***
Apa kalimat yang ingin kamu utarakan buat Aiza?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]
Teen FictionFollow dulu sebelum baca || Tersedia di Gramedia dan Toko Buku Online Aiza Humairah, gadis salehah yang menyukai laki-laki bernama Fakhri Alfarezel dalam diam. Lelaki tampan yang memiliki prestasi membanggakan. Tidak ada yang tahu perasaannya ke Fak...