#24 Menyerah

147K 14K 271
                                    

Membuka pintu kamar, Aiza langsung menjatuhkan badannya di atas kasur, tangisnya pecah seiring luka itu kembali ia rasakan. Segala ucapan dan perlakuan Fakhri kepadanya semuanya tumpah. Luka yang selama ini tertahan, rasa sakit yang dipendam kini menjerit pilu lewat tangis yang kian mengeras.

Aiza tersedu kecil di bawah bantal, tubuhnya bergetar hebat. Sementara tangannya kini meremas kuat bantal guling. Apa ini akhir segalanya? Apa Aiza akhiri saja agar tidak ada lagi rasa sakit yang ia dapatkan?

Aiza bangkit dari posisinya, mengambil koper yang berada di atas lemari dengan tangis yang tidak kunjung berhenti. Aiza maraih segala pakaian untuk dimasukan ke dalam koper. Hatinya sudah tidak bisa ditoleransi. Cukup sampai di sini ia bertahan, Aiza tidak kuat lagi.

Setelah melepas cincin yang tersemat di jarinya, Aiza meraih jaket, slink bag, dompet dan ponsel, setelahnya ia berlalu keluar kamar sdengan air mata yang tidak hentinya mengalir.

Kali ini keputusan Aiza sudah bulat, ia akan pergi dari sini.

"Ke mana?"

Aiza tidak menjawab, meraih genggang pintu dan berlalu dari sana. Di luar Aiza mengiring kopernya ke jalan. Satpam yang melihatnya menangis seraya menarik koper hendak menghentikan, namun Aiza tidak menghiraukan, tetap berjalan keluar rumah.

Di luar benar-benar gelap, langit yang begitu mendung kini menurunkan tetesan airnya ke bumi. Aiza tetap melanjutkan langkah tidak peduli tubuhnya sudah basah oleh air hujan , yang ia inginkan segera mencari taxi untuk pergi.

"Taxi."

Aiza berucap syukur taxi masih beroperasi malam ini. Setelah mengatakan tujuannya, taxi berlalu membelah jalan raya yang sudah basah oleh air hujan.

Aiza
[Aiza ke rumah ya?]

Fani
[Dengan senang hati. Gue juga berdua sama Mbok Ati di rumah]

Aiza tersenyum tipis. Hanya Fani kini satu-satunya harapannya. Aiza tidak tahu lagi ke mana harus pergi, ia tidak mungkin ke rumah Bunda ataupun keluarga dekatnya yang ada di Jakarta. Aiza tidak ingin mereka tahu masalahnya dulu.

Aiza kembali menyimpan ponsel. Pesan terakhir Fani yang menanyakan kenapa tumben ia malam ke sini hanya direadnya saja. Aiza mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Pandangannya kembali buram mengingat ucapan Fakhri tadi.

Sampai kapanpun Fakhri memang tidak pernah memikirkan perasaanya.

Aiza menghapus air matanya begitu ban mobil berhenti tepat di depan rumah Fani. Setelah membayar, Aiza keluar dan mendapati Fani yang kini berlari dari pintu menuju pagar.

Aiza jelas melihat wajah kaget Fani yang melihat koper yang dibawanya. Buru-buru Fani menghampiri Aiza yang sudah kuyup oleh hujan.

"Za?"

"Aiza boleh nginap di sini?"

Fani mengangguk cepat, memilih mengajak Aiza masuk daulu karena dinginnya udara malam. Berbagai pertanyaan yang merasuki benaknya Fani sampingkan walau rasa penasarannya sangat tinggi. Mulai dari mata Aiza yang sembab, Aiza yang malam-malam ke rumahnya hingga membawa koper.

"Lo ganti pakaian langsung ya, Za? Gue minta Mbok Ati buatin teh hangat dulu," ucap Fani begitu mereka sudah sampai di kamar Fani. Aiza mengangguk. Fani bergegas ke bawah untuk membuatkan teh hangat.

Setelah menukar pakaian, Aiza sudah duduk di satu sofa yang ada di kamar sahabatnya. Ponsel yang tadi ia letakan dalam tas, Aiza ambil untuk dimatikan. Aiza tersenyum kecut, bahkan Fakhri tidak kunjung menelfon atau mengirim pesan.

"Za di minum dulu." Aiza menoleh menatap Fani yang sudah kembali dengan nampan berisi makanan dan teh hangat. Fani sudah duduk di sampingnya.

"Maksih, Fan." Aiza mengambil dan meminumnya dua teguk. "Maaf Aiza repotin, Fani."

"Gue nggak berasa direpotin." Aiza tersenyum sekilas.

"Apa yang terjadi, Za?" tanya Fani, merasa sesuatu telah terjadi kepada sahabatnya. Pasti terjadi masalah besar hingga membuat Aiza pergi dari rumah.

"Nggak ada, Fan."

Fani memegang lembut bahu Aiza, menatap sahabatnya yang terlihat memaksa menutupi semuanya. "Kalau rasanya sakit jangan disembunyiin lagi, Za," ujar Fani lembut.

Perlahan tapi pasti air mata kian jatuh begitu saja di pipi Aiza. Aiza menunduk dalam, mencoba menguraikan tangisnya yang kembali memaksa keluar. Jika biasanya Aiza bisa menyimpannya sendiri, namun kali ini jelas ada kerapuhan yang tidak bisa lagi ia sembunyikan. Rasanya begitu sakit menahan semuanya sendiri.

Fani membawa Aiza ke dalam pelukannya, membuat air mata itu semakin lama semakin menetes hingga kini terdengar isakan pilu dari bibir Aiza. Punggung itu bergetar hebat, bahkan kini Aiza semakin terisak membuat siapapun yang mendengarnya tidak tega.

"Aiza lelah, Fan, Aiza ... Hiks ...." Sakit dan sesak semuanya menyatu, Aiza bahkan tidak bisa berhenti menangis dipelukan sahabatnya, semuanya terluapkan. Rasanya benar-benar capek. Aiza tidak sanggup lagi menyimpannya sendiri. Sakit yang tertahan ini membuatnya terasa dibunuh secara perlahan.

Benar, Aiza kini menyerah.

***

Bukan Aku yang Dia Inginkan [ Publish lengkap ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang