keluarga

26 3 0
                                    

Sedikit cerita tentang bagaimana kehidupan keluarga mereka.


👨‍👩‍👦 👨‍👩‍👧 👨‍👩‍👧‍👦

Memiliki keluarga yang bahagia adalah dambaan setiap manusia. Tak melulu harus kaya, asalkan ada kasih sayang yang senantiasa mengiringi hidup itu sudah cukup bagi anggota keluarganya.

Nayra adalah yang paling bahagia, meski ayahnya tak ikut serta mendidiknya, tapi Ibunya telah memberikan kasih sayang yang penuh kepada Nayra. Bagi Nayra, ibunya adalah seorang idola sejati. Nayra merasakan lembut dan manisnya didikan dari orang tua yang membimbingnya menjadi wanita tangguh.

Tapi predikat wanita tangguh sepertinya lebih cocok diberikan kepada Gesya. Ia hidup dan menjalani hidup tanpa merasakan belaian orang tua. Beruntungnya Tuhan menitipkan Gesya pada seorang wanita tua yang kuat dan penuh kasih, neneknya. Baginya, sang nenek adalah sosok yang sangat ia kagumi. Tak henti-hentinya Gesya berucap terimakasih pada Tuhan dan neneknya yang menangguhkan dirinya.

Sementara Afan, ia sempat mencicipi kasih sayang orang tuanya saat Sekolah Dasar. Dan hari yang tidak diinginkan pun datang. Afan yang kala itu mulai memasuki masa remaja, tahu-tahu dibawa orang tuanya ketempat yang jauh dan begitu asing baginya. Sampai sekarang Afan ingat, saat ibunya berkata "mulai sekarang kamu tinggal disini, nanti setiap beberapa bulan sekali ada orang yang mengantar kiriman dari kami untuk keperluan kamu". Dan setelah itu, ia tak pernah bertemu orang tuanya lagi. Kejam? Tapi ya memang begitu adanya.

Sedikit rahasia, beberapa perubahan terjadi setelah kejadian tersebut. Saat kejadian itu, Afan menangis. Afan adalah anak yang cerdas, ia berfikir selama apapun ia menangis itu adalah percuma, tak akan mengubah apapun. Akhirnya Afan membuat keputusan bahwa air mata tersebut adalah tangis terakhirnya. Sebelum kejadian itu pun Afan adalah laki-laki yang ceria, dan setelah hidup sendiri, ia jarang sekali berbicara kepada siapapun. Diam adalah tenang, baginya. Setelah kejadian itu pula Afan memilih sendiri, tak berniat mencari kekasih atau pasangan hidup. Afan sudah trauma jika harus ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi.

Lalu bagaimana dengan si tampan? Ah maksudnya Argio. Kehidupan di keluarganya seperti api lilin ditengah derasnya hujan. Ada, tapi tak hidup.

🕯️🕯️🕯️


Argio meninggalkan rumah Nayra dengan senyum yang terukir sempurna di bibirnya. Senang sekali bisa mengenal keluarga seperti itu, senang sekali bisa ikut berperan didalam keluarga itu meski hanya sebagai sahabat dari anggota keluarganya, senang sekali bisa merasakan lembutnya keluarga itu.

Argio berjalan dengan tangan kanan menenteng sepatu dan tas yang ia gantungkan dipundak. Berjalan dengan bersenandung kecil menyanyikan lagu-lagu populer dimasa itu. Kadang tertawa geli jika ia dengan sengaja mengganti liriknya ngasal. Sesekali memikirkan teka-teki yang ia siapkan untuk esok pagi.

Dijalanan tidak ada yang mengira kalau Argio gila, saat itu jalanan belum terlalu ramai. Pun jika ada orang lain, orang itu akan fokus dengan urusannya. Sama sekali tak mengurusi apalagi mengomentari orang lain yang ada di jalan, bodoamat dengan urusan mereka.

Argio sampai didepan rumahnya, melirik mobil yang terparkir manis di garasi rumah. Pertanda jika Tuan dan Nyonya rumah sedang ada didalam. Argio menghela nafas, tak tahu harus senang atau sedih ketika orang tuanya berada dirumah.

Ia menaruh sepatunya dan mendorong pintu dengan perlahan. Hening, 'lagi nggak berantem?' pikir Argio. Ia bergegas melangkah menuju kamarnya, mungkin hari ini Argio bisa tenang dirumah.

"Darimana kau?" Terdengar suara pria dari arah pintu.

Argio berbalik badan, alisnya bertaut ketika memandang pria itu. Terlihat Papanya berjalan sempoyongan seperti seorang yang habis meneguk minuman memabukkan.

"Harusnya saya yang bertanya, habis berapa gelas, Pa?" Argio bertanya dengan wajah yang memerah, ia kecewa melihat keadaan Papanya saat ini.

"Anakku benar. Sudah berapa tegukan, Tuan Satrio?" Argio menoleh, disampingnya sudah ada Ana, Mamanya.

"Dan sudah berapa wanita?" Lanjut Ana.

Argio terpaku, seperti ada yang menghujam hatinya dengan ribuan paku. Perih, sangat perih ketika mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Mamanya. Argio sekarang tahu, apa penyebab kedua orangtuanya selalu beradu mulut.

"Jaga ucapan kau, Ana. Jangan berusaha menjelek-jelekkan aku dihadapan anakku" Satrio berjalan mendekati Ana dan Argio dengan langkah sempoyongan.

Ana menghela nafas, jangan sampai emosinya memuncak didepan Argio. Sangat tidak pantas jika didengar dan disaksikan anaknya. Ana tersenyum dengan penuh paksa

"Tanpa aku berkata seperti itu pun kau memang sudah buruk dari segi manapun, Satrio"

"Banyak bicara kau! Mengapa tak jadi wanita-wanita diluar sana yang membuatku senang, Ana" Satrio sedang menyindir Ana, membanding-bandingkan Ana dengan wanita yang ia temui setiap hari untuk memuaskan dirinya.

Ana tak segan-segan memukul lengan Satrio, meluapkan emosinya yang ia tahan sejak tadi. Namun tak berlangsung lama, Ana sudah tidak sanggup, ia terduduk dan mengusap air matanya.

"Kau memalukan" ia berkata begitu lirih, berkata dengan sesenggukan.

Argio sedari tadi hanya diam, menyaksikan pertengkaran antara Mama dan Papanya yang tepat didepan mata. Miris, jika melihat keadaan keluarganya yang tak pernah jauh dari kata ribut. Argio hanya takut terjadi hal buruk yang sama sekali tidak dia inginkan.

Argio berjongkok, memegang lengan Mamanya dan menuntunnya untuk kembali berdiri. Argio merangkul Ana, setidaknya sedikit menguatkan hati Mamanya.

"Saya benci air mata Ma" Argio berkata sambil menunduk, tak sanggup jika berkata seperti itu dengan menatap mata teduh Ana.

"Saya benci pertengkaran Pa" lanjutnya.

Satrio tersenyum sinis, lama kelamaan senyumnya malah jadi tawa. Argio mengalihkan pandangannya pada Satrio, menautkan alisnya. Satrio malah seperti orang yang tidak waras.

"Kau masih kecil, tidak tahu apa-apa. Bisamu hanya membanting pintu dan membenci, anakku"

Satrio menyudahi tawanya, lalu menatap Argio dengan tatapan tajamnya.

"Kalau kau mau membenci aku, maka aku juga akan membencimu. Tenang saja"

Ana menepis tangan Argio yang bertengger di pundaknya, nafasnya menderu, emosinya lagi-lagi memuncak mendengar suaminya yang akan membenci anaknya.

"Tega kau dengan anakmu sendiri? Tak pantas kau menjadi seorang ayah!"

Argio tak mau lagi melihat pertengkaran Mama dan Papanya. Ia tak sudi menyaksikan setan-setan berhasil membuat amarah diantara orang tuanya.

Argio berjalan dengan langkah cepat menuju pintu keluar rumah, kali ini ia tak ingin membanting pintunya. Argio saat ini hanya ingin meninggalkan rumahnya, meninggalkan segala yang ada didalamnya.

Seharusnya rumah adalah tempat teraman dan ternyaman bagi seseorang. Tapi Argio sama sekali tak pernah merasakan itu kecuali jika orang tuanya tidak dirumah.

Tanpa bekal apapun, Argio pergi meninggalkan rumah untuk sementara, mungkin ia hanya butuh sedikit ketenangan. Terserah kemana kakinya akan membawa dirinya, asal tidak ke tempat hina yang sering kali didatangi Satrio, ayahnya.

IRIDESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang