Bittersweet Rendezvous

2.2K 224 4
                                    

IX.

Cinta bukanlah sebuah kata benda. Kau tidak pernah bisa menyentuhnya. Genggaman tangan dan hatiku sama hampanya tanpamu.

Cinta bagiku adalah sebuah kata kerja. Bahkan setelah cinta mati, selalu ada harapan yang mempertahankan kehadirannya. Seperti dirimu bagiku, kehadiranmu, keberadaanmu, dan aroma nafasmu yang membuatku terus dan terus bergerak. Kita terluka, tapi kita terus bergerak.

-bee-

-:-

.

Tokyo bagi Hinata adalah inti dari kisah hidupnya. Sebuah kota megapolitan yang dulu dia kenali sebagai rumahnya. Kini, Tokyo adalah persinggahan yang membuat jantungnya merasakan nyeri tak berkesudahan. Seolah kota ini menolak kehadirannya, tak menginginkan langkah kakinya di atas jalan utama pusat kota, tak mengharapkan kehadiran Hinata di antara para pejalan kaki yang bahkan tak mempedulikannya. Seakan ada kebencian yang meracuni udara Tokyo. Hinata hanya mampu memahami satu hal, dia tak ingin berlama-lama di kota ini.

Aroma laut Fukuoka terasa lebih nyaman untuknya.

Berdiri berhadapan dengan meja registrasi di lobi hotel yang dia pilih, Hinata menemui seorang petugas ramah yang segera mengecek ketersediaan kamar. Mungkin akhir pekan di penghujung musim panas menjadikannya sebuah kelebihan tersendiri. Banyak kamar kosong yang tersedia karena penduduk kota besar seperti Tokyo pasti lebih memilih untuk berlibur di pedesaan atau daerah pantai. Dan jika ada pelancong seperti Hinata yang justru datang dari daerah pantai dan menikmati suasana kota, kemungkinan besar mereka sudah kembali ke rumah di saat-saat seperti ini.

Meski begitu, Hinata selalu mendahulukan kemungkinan yang terburuk. Perempuan Hyuuga dua puluh tahun itu menghubungi pihak hotel untuk mereservasi, yang tanpa diketahuinya, hal sederhana ini mengundang kemungkinan lain. Tentu, Hinata tak akan pernah menduga, ada orang yang peduli jika dia datang ke Tokyo. Terlebih Uchiha.

Lagipula, siapa Uchiha? Tak ada satu orang pun yang pernah menyebut nama itu.

"Aah... Hyuuga-san, Anda memesan kamar dengan single bed untuk satu orang?"

"Benar," jawab Hinata, lega karena pihak hotel tidak membuat kesalahan. Hotel yang tak mewah seperti ini, Hinata tentu tidak berharap mendapatkan pelayanan ekstra.

"Berapa lama Anda akan tinggal?" tanya pria setengah baya yang mengenakan kemeja lusuh berlengan pendek dengan motif kotak-kotak. Rambutnya yang tipis dan agak gondrong, berantakan. Kulitnya memerah karena cuaca panas yang rasanya tak mau pergi meski kipas angin listrik terus bekerja di dekatnya.

Hinata meletakkan travel bag yang setia mendampinginya di lantai, meraih dompet dari tas lain yang menggantung di bahunya. "Dua hari," jawabnya, kemudian menarik kartu kredit dari susunan kartu lain di dompetnya.

Pria itu menerima kartu kredit berwarna silver yang disodorkan Hinata dan segera memproses, sementara pendataan dilakukan Hinata dengan menyalin beberapa informasi yang diperlukan dari kartu identitasnya ke selembar kertas data.

Setelah semua selesai, petugas yang masih bersikap ramah itu menyerahkan kartu beserta kunci sebuah kamar di lantai dua, dan tersenyum sebelum membungkuk, "Semoga Anda menikmati waktu Anda di sini."

.

.

.

Rumah Hizashi di Fukuoka tidak pernah terasa sempit seperti sekarang. Sebelumnya, rumah sederhana berkamar tiga itu selalu terasa luas. Neji sibuk dengan pekerjaannya di sebuah sekolah lokal, menjadi tenaga medis yang digandrungi pelajar perempuan. Hinata biasanya tinggal sepanjang pagi, tapi saat siang datang, dia bekerja di galeri hingga warna biru langit berganti cerah jingga senja. Hizashi pastinya menjalankan bisnisnya di pelabuhan. Fukuoka memang sebuah area yang menjadi gerbang utama Jepang menuju kota besar dan negara-negara tetangga seperti Hong Kong dan Korea.

君と月の光(Kimi to Tsuki no Hikari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang