Freedom

2.4K 233 5
                                    

VII.

"Aku m-memilih Neji-kun."

"Kau harusnya mendaftar di acara komedi TV sabtu malam."

"Aku t-ti-tidak sedang bercanda."

"Benarkah? Tapi leluconmu lucu."

"Ini b-bukan lelucon."

"Tetap saja lucu." Sasuke meninggalkan Hinata yang berdiri terpaku di pusat kamarnya yang luas.

Hari masih panas di waktu hampir sore. Sasuke mendekat ke jendela untuk membukanya. Hembusan angin yang lembab dan tidak terasa nyaman membawa aroma udara yang terasa menyesakkan dada. Remaja Hyuuga itu lalu berbaring di atas lantai kayu, tanpa alas, tanpa t-shirt yang dia tanggalkan.

Dua tangan menopang kepalanya, lutut dia tekuk. Gerakan dimulai dengan hitungan pertama. "Satu." Sasuke menekan otot perut. Lalu kembali ke posisi awal. Mengurangi kemarahan dengan melakukan sit-up.

Hinata ingin menegaskan keputusannya, ini adalah akhirnya. "Sasuke, aku serius."

"Empat," Sasuke melanjutkan hitungan sit-up. Telinganya berfungsi dengan baik, tapi Sasuke memilih untuk mengabaikan kata-kata Hinata.

"Kau h-harus menghargai keputusanku," Hinata menunggu.

"Lima... Enam..."

"Ini yang terbaik," lanjut Hinata.

"Tujuh... Delapan... Sembilan..." Sasuke tetap acuh.

"Sekarang, kau hanya seorang kakak bagiku," Hinata selesai dengan topik utamanya yang dianggap lelucon oleh Sasuke.

"Sepuluh."

Sasuke menghentikan hitungannya. Hinata berbalik untuk melangkah pergi, tapi kemudian dia dihentikan suara perih Sasuke yang kalah dari perasaan sedih, dibuang, tidak diperlukan lagi.

Gadis Hyuuga itu membalikkan badannya lagi, ada keinginan yang menariknya untuk sekali lagi memandang saudaranya yang berbaring di lantai, lemah. Sepasang mata gelapnya menatap lurus langit-langit. Butiran keringat yang tidak banyak berkumpul di kening, wajahnya memerah. Dadanya tersiram cahaya senja yang masih cerah, bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya. Air mata tunggal mengalir pelan dari ujung matanya.

Hinata tahu, dia telah memberi luka baru di diri saudara kembarnya. "Kuharap k-kau bisa mengerti."

"Mengerti apa?" tanya Sasuke, ekspresinya kosong, seolah berharap suaranya yang parau mampu mengoyak udara.

"Ini. Se-semuanya."

"Aku bukan kau yang memahami budaya atau estetika. Bagiku, ini semua tidak semudah yang kau bayangkan."

"K-kau akan segera lupa."

"Lupa apa?" suara pelan Sasuke sangat jelas memperlihatkan lukanya.

"Semua yang telah k-kita lalui."

"Aku bukan kau yang mudah lupa. Otakku selalu punya ruang untuk mengingatmu."

Adalah suatu kebohongan jika Hinata tidak mempedulikan perkataan Sasuke yang menyejukkan hati. Siapa yang tidak akan tersanjung dengan pernyataan sederhana itu? Memang bukan 'Aku cinta padamu' tapi terlalu indah untuk disebut sederhana.

-Otakku selalu punya ruang untuk mengingatmu-

"Maaf."

"Ini tidak selesai dengan mengabulkan permohonan maaf darimu, Hinata."

"Aku t-tahu."

"Kau buta. Kau tuli. Kau selalu kumaafkan." Sasuke lalu bangun, tidak cukup peduli untuk mengenakan lagi t-shirt hitam yang tergeletak di atas ranjang. Langkahnya yang pelan membuat Hinata tertanam di lantai. Mata hitamnya begitu lembut dan tidak liar, Hinata hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan Sasuke selanjutnya. "Apapun yang kau lakukan, apapun yang kau katakan, tidak akan merubah apapun, Hinata. Berhentilah berusaha."

君と月の光(Kimi to Tsuki no Hikari)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang