Prolog

57 13 2
                                    

"SADHA ... bangun ish! Lo harus kuliah. Liat nih udah jam berapa? Nanti kita telat, mana hari ini mata kuliah Pak Niko lagi. Bisa mati kita kalo telat." Dengan suara melengkingnya dan tepukan ringan dipipi mengusik tidurku yang damai tentram. Seseorang itu sudah seperti alarm yang lebih ganas.  Dia Shalsa, sahabat sekaligus sepupuku.

Kulihat jam pukul setengah tujuh,  padahal kami masuk kelas jam delapan. Tapi liatlah dia sudah siap sepagi ini,  emang jiwa disiplin Shalsa tidak dapat di elakkan lagi. Dia selalu menjadi gadis yang disiplin dan rapi. Tidak seperti aku berantakan, yah sama seperti hidupku, berantakan.

Tiba-tiba tanganku di tariknya, dia mendudukan badanku yang masih setengah nyawa ini. Rasanya sakit semua, karena habis bergadang melihat Anime tadi malam.

"Masih jam segini kali Sal, kampus kita juga gak jauh," kataku malas, aku berniat merebahkan badanku ke kasur lagi. Tapi telat, Shalsa sudah menarikku ke kamar mandi.

"Cepat lo mandi, gue tunggu lima belas menit. Kalo gak gue ngambek sama lo. Karena lo gak menghargai kedatangan gue ke kos-an lo sepagi ini," katanya panjang lebar sambil mengancamku, dasar manja pikirku.

Shalsa memang gadis yang centil dan sedikit manja. Sebab, dia besar dari keluarga yang berada dan tidak  kekurangan kasih sayang. Sama sepertiku, besar dari keluarga yang berada. Ya iyalah, namanya tadi kami saudarakan? Pasti ekonomi keluarga tidak jauh beda.
Dan pasti kalian bertanya-tanya, kalau aku hidup dengan banyak harta kenapa aku harus mengekos.
Padahal hidup di rumah jauh lebih enak. Nanti, kalian akan menemukan jawabannya. Tidak sekarang. Tapi nanti.

Aku sudah siap dengan kemeja dan celana panjangku, tak lupa tangannya ku lipat sedikit. Agar lebih keren. Rambutku hanya ku ikat asal, malas kalau berdandam. Nanti banyak yang naksir. Ku ambil tas kuliahku, tak lupa handphone juga.

" Yuk," kataku saat melihat Shalsa yang memegang kaca kecil di depannya yang ku yakini itu adalah bedak padatnya.

"Ntar, makeup gue luntur kelamaan nunggu lo," katanya sambil mengerakkan tanggannya yang sudah memegang spons di wajah mungilnya itu. Dia cantik, sangat cantik. Siapapun yang melihatnya, pasti akan tertarik.

--

"Nih, tadi Mama bawain bekal untuk lo." Shalsa menyodorkan kotak bekal dan susu coklat di dalam tumbler.

Kami sedang berada di bawah pohon rindang yang besar, keadaan kampus masih sedikit sepi. Ya bagaimana tidak, ini masih jam tujuh pagi. Niatnya tadi aku ingin mampir ke warung makan, untuk sarapan. Tapi kata Shalsa, tante Nita mamanya Shalsa menitipkan bekal untukku.

"Bilang makasih sama tante Nit. Lain kali gausa repot-repot," kataku sambil membuka bekal itu, ada nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Ini kesukaanku. Makanan yang dulu selalu aku makan tiap pagi, tapi tidak satu tahun belakangan ini.

"Dha ... " Panggil Shalsa dengan suara yang sulit di artikan. Aku menatapnya seolah bertanya ada apa.

"Sampe kapan lo gak mau maafin semua ini? Pulang kerumah lo, dan maafin segalanya. Mereka sudah menyesal," sambung Shalsa yang menatapku dengan pandangan sendu.

Selera makanku hilang, aku benci topik ini. Dan tanpa bicara, aku pun pergi berlalu begitu saja. Meninggalkan Shalsa dan nasi goreng yang menatapku dengan penuh harap. Rasanya kalau membahas ini, semuanya menyesakkan.

"Dha, lo emang batu ya," kata Shalsa yang memandang punggung sahabatnya itu yang semakin lama semakin menjauh.

------------------------------------------------------

Semoga saya bisa menyelesaikan cerita ini.

SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang