19

6 2 0
                                    

Setiap warna dalam kehidupan selalu ada rasa sakit. Setiap rasa bahagia di dalamnya selalu ada kecewa. Entah terlihat ataupun bersembunyi. Pada kenyataannya hidup memang tidak pernah lepas dari kebimbangan.

Sadha menatap kosong ke arah depan, ia memikirkan tentang skripsi dan kelulusannya. Benar jika rasa sakitnya sudah tidak sesakit dulu saat ia mengetahui pengkhianatan itu. Tapi, rasanya aneh saja jika ia nanti harus melihat Sanaya dan Bagas hampir setiap hari berdua.

Pikirannya sedang berlalu lalang mencari cara. Tiba-tiba satu ide terlintas di dalam kepalanya. Kenapa ia tidak dari kemarin melakukannya. Pasti dia tidak repot memikirkannya lagi. Sadha pun melangkahkan kakinya ke ruang dosen. Ia ingin bertemu dengan bu Lina, dosen mata kuliah jurnalistik.

Saat ia sudah sampai, wanita paruh baya itu menyambutkan dengan senyuman.

"Baru saja saya ingin memanggilmu, dan ternyata kamu sudah sampai disini" kata bu Lina ramah, "apa keputusanmu?" tanyanya.

"Maaf buk, keputusan saya tetap sama. Saya tidak bisa praktik disana. Tapi, saya ingin meminta izin ibu untuk memilih tempat praktik yang lain" pinta Sadha sesuai keinginannya tadi.

Wajah bu Lina yang tadinya ramah seketika berubah, ia menatap lekat-lekat muridnya itu sebelum berbicara.

"Tidak, tidak bisa. Saya sudah memutuskan kalau kamu tidak mau, saya tidak meluluskan mata kuliah jurnalistik di semester ini" jawab bu Lina tegas.

Mata Sadha mengerjap, ia kaget. Bagaimana mungkin ia harus mengulang.

"Saya kasih waktu kamu sampai besok untuk berfikir, kalau keputusan kamu tetap sama. Yasudah, kamu ngulang saja" tambah bu Lina,

Sadha hanya bisa mengangguk lalu pergi. Langkahnya dalam kebingungan, apa yang harus ia putuskan sekarang.

Saat ia menuju arah kantin, matanya melihat ada Sakha dari arah berlawanan. Sadha sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa, iapun segera berbalik badan dan tidak jadi ke kantin. Tetapi telat, Sakha sudah melihatnya.

"Sadha.." panggil Sakha

Gadis yang di panggil itu pura-pura tidak dengar, iapun tak merespon.

"Sadha, aduh.." ringkih lelaki itu yang membuat langkah Sadha terhenti dan menoleh ke belakang.

Sadha kaget melihat Sakha yang sudah tersungkur ke bawah, iapun segera menghampiri dan menolong lelaki itu. Dan alangkah kagetnya lagi, ternyata kaki lelaki itu terbalut perban yang sudah berlumuran darah itu.

Gadis itupun langsung menolong dan membawanya ke  klinik kampus. Dan sialnya, ternyata dokter yang bertugas sedang tidak ada di sana.

Sadha tak tega melihat Sakha yang terus kesakitan, gadis itupun langsung saja mengobati sendiri.

"Aw.. pelan-pelan" ringkih Sakha.

"Manja, baru segini aja uda ngeluh" Sadha terus membersihkan darah itu dan mengganti kain kasa yang baru.

"Lo bilang apa" Sakha memajukan wajahnya dan saat yang bersamaan Sadha menoleh, tatapan mereka bertemu. Mereka mengunci mata masing-masing seperti ingin menyelam ke mata yang di tatap.

Ternyata, tanpa sadar kain kasa yang di pegang Sadha jatuh ke bawah. Tatapan mereka terhenti dan saling membuang pandangan ke arah yang lain, semu merah pipi Sadha terlihat. Hati Sakha seperti taman bunga yang sedang bermekaram. Mereka berdua hening pada pikiran masing-masing untuk menyembunyikan perasaan.

"Uda siap?" tanya Sakha yang melihat Sadha masih menatap ke arah lain.

"Eh.. bentar" ucap gadis itu dengan gugup.

"Selesai" katanya beberapa menit kemudian, "kaki lo kenapa kok bisa kayak gini?" tanya khawatir tapi tetap tanpa ekspresi.

"Cie perhatian" goda Sakha yang membuat gadis itu memutar bola matanya malas. Iapun berniat meninggalkan lelaki itu sendiri, tetapi tanggannya ditahan.

"Gitu aja ngambek" kata Sakha, "ini loh semalam gue ketimpah pot bunga pas di rumah. Makanya itu gue telfon lo semalam, tapi gak lo angkat. Untung aja supir gue belum pulang, jadinya bisa deh dia nolongin gue untuk ke klinik" jelas Sakha yang membuat Sadha sedikit bersalah.

"Lo kuker banget ngangkat pot malem-malem" ujar Sadha untuk menutupi rasa bersalahnya.

Bukannya menjawab, Sakha hanya menyengir tak jelas.

"Ohiya Dha.. gue pengen ngomong sama lo" jantung Sadha berpacu cepat ia merasa gugup saat ini, "lebih tepatnya ngasih info" lanjut Sakha yang membuat ada rasa kecewa di hati gadis itu tetapi ada rasa lega juga. Karna Sakha tak akan menembaknya.

"Apa?"

"Minggu depan gue udah harus melakukan penelitian ke perusahaan untuk bahan skripsi. Dan lo tau, perusahaan itu ada di Jakarta. Perusahaan Kingers dan itu artinya gue akan selalu ketemu lo lagi disana" jelas Sakha dengan ekspresi yang bahagia.

"Gak. Gue gak akan praktik disana juga" jawab Sadha tegas

"Kenapa?"

"Gak semua lo harus tau" Sakha tersenyum getir mendengar ucapan gadis itu.

"Lo lemah, rasa sakit membuat lo jadi orang bodoh" what? Laki-laki ini berbicara apa? Sadha menoleh dengan penuh marah.

"Maksud lo apa ngomong gitu?" nada tinggi terdengar jelas di telinga Sakha.

"Ego lo udah ngebuat lo jadi lemah dan gak dewasa. Lo nolak praktik disana karna lo belum sepenuhnya ikhlas? Karna sakit hati lo masih besar? Dan lo tega nyia-nyiakan mimpi lo karna rasa sakit" Sakha berkata dengan pelan tetapi terdengar tegas dan menyakitkan.

Sadha tak mengenal laki-laki di dekatnya ini, semenyebalkannya laki-laki itu tetapi tak pernah berbicara menyakitkan seperti sekarang.

"Lo gak tau apa-apa tentang rasa sakit gue. Lo gak berhak untuk ngomong kayak gitu ke gue. Lo gak pernah tau jadi gue" suara gadis itu bergetar, ia menunduk. Rasanya hatinya seperti di hujani beling-beling yang berhasil menancap ke relung hatinya.

"Dan satu lagi, jangan berbicara seenak hati. Karna apa yang menurut kita baik, belum tentu di dengar orang lain baik" kata Sadha dengan emosi yang meluap-luap. Setelah itu iapun langsung melangkahkan kakinya pergi.

Air mata yang ia bendung tak lagi bisa di tahannya. Langkahpun tergesa-gesa, sampai ia menabrak Shalsa.

"Sadha, lo kenapa?" tanya Shalsa penuh kekhawatiran dan penasaran.

Sadha langsung memeluk gadis di depannya dengan sangat erat, iapun menangis di pelukan sepupunya tanpa memperdulikan sekitar lagi.

Entah kenapa ini menyakitkan untuknya. Terlebih yang mengatakan adalah Sakha. Perasaannya seperti jatuh ke jurang setelah ia merasa terbang terlalu tinggi. Ada perasaan tak terima. Seperti ada beling yang menancap dengan sangat hebat.

Pelukannya kembali di eratkan, saat ini dirinya butuh pegangan yang hebat. Sakha yang biasa menjadi obat dari sakitnya kini malah menjadi dalang dari rasa sakit yang ia rasakan.

Terkadang Sadha ingin memiliki jeda dari rasa sakit. Tapi ternyata semesta tak merestui.

------------------------------------------------------


SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang