20

7 2 1
                                    

Tembok antara Sakha dan Sadha kini terpasang, tidak ada satupun yang ingin meminta maaf terlebih dahulu ataupun sekedar menyapa.

Yang biasanya Sakha selalu menganggu Sadha, kini lelaki itu seolah tak peduli. Sadha pun kini kembali seperti orang asing jika bertemu Sakha.

Shalsa yang melihat itu gemash, entah kenapa ia tak ingin melihat dua orang itu saling menjauh. Shalsa sudah mendengar cerita dari Sadha. Tapi Shalsa yakin kalau Sakha melakukan itu karna sebab. Dua hari sudah mereka saling diam.

Dua gadis itu berpapasan dengan Sakha saat ingin ke dalam kelas, awalnya Shada ingin berbalik arah tetapi Shalsa menahannya.

"Gausa balik arah" bisik Shalsa pelan, Sadha hanya diam dan mengikuti.

Sampai mereka bertemu dan Shalsa membuat mereka harus berhenti.

"Hai Sakha" sapa Shalsa dengan senyuman dan menahan Sadha agar berhenti sebentar.

"Hai" jawab Sakha singkat.

Suasana cukup canggung.

"Gue deluan ya" pamit Sakha.

"Eh tunggu, jangan pergi dulu" tahan Shalsa yang kelagapan melihat Sakha ingin pergi. Dengan cepat laki-laki itu mengurungkan niatnya.

"Gue deluan" Sadha berhasil lolos pergi begitu saja tanpa izin, Shalsa hanya bisa pasrah. Tak mungkin ia meneriaki dan mengejar sahabatnya. Lagian iapun butuh berbicara dengan Sakha berdua.

"Gue uda bisa pergi?" tanya Sakha yang memecahkan keheningan sedari tadi.

"Eh ntar, gue mau ngomong. Tapi gak disini deh. Yuk cari tempat" ajaknya pada laki-laki itu.

Mereka kini sudah berada di cafe depan kampus mereka. Suasana disana tidak cukup ramai, jadi sangat enak jika ingin berbicara serius.

"Gue udah denger cerita dari Sadha, gue sedikit marah sih sama lo. Karna mau gimanapun lo juga gak pantes bilang gitu" ucap Shalsa langsung ke inti pembicaraan.

Helaan nafas Sakha terdengar sebelum ia memulai bicara.

"Gue kayak gitu karna gue sayang sama dia. Gue gak pengen dia trus terjebak sama rasa sakit" jujur laki-laki itu dengan penuh rasa bersalah.

Matanya memancarkan kejujuran, itulah yang di lihat Shalsa. Gadis di depannya tersenyum.

"Dari awal gue tau lo temenan sama dia, gue senang. Ada perubahan dari hari-hari dia, gue jarang liat dia murung. Tapi dua hari ini dia jadi Sadha yang dulu, gue yakin lo cowok yang bertanggung jawab. Gimanapun disini lo yang salah. Perbaiki ya" setelah itu Sadha berdiri dan berpamitan pergi sambil menepuk pundak Sakha sebagai penguat.

---

Sadha baru saja selesai kelas. Ia berniat mencari Shalsa. Karena sahabatnya itu tidak masuk di mata kuliah ini. Setelah tadi ia meninggalkan sahabatnya dengan Sakha.

Ternyata ada pesan masuk dari hpnya yang memutuskan dirinya berhenti mencari sahabatnya itu.

Bu Lina (dosen jurnalistik)
Sadha, kamu keruangan saya sekarang ya.

Dengan langkah malas Sadha melangkah ke ruang dosen, entah apa yang ingin di bicarakan dosennya itu. Padahal kemarin Sadha sudah memberi keputusan tentang praktiknya. Dan semua masalah perizinanpun sudah selesai, lalu apa yang ingin di bahas dosennya.

Tok.. tok.. gadis itu mengetuk pintu sebelum masuk.

"Ada apa ya buk? Bukannya saya sudah memberi keputusan?" kata Sadha setelah sampai di depan dosennya itu.

"Jadi gini, kemarin saya lupa bilang ke kamu. Saat praktik nanti, kamu harus bekerja sama dengan salah satu mahasiswa jurusan sejarah. Dia sedang penelitian gitu disana juga. Nah kalian saling membantu, lagian apa yang sedang kalian lakukan itu juga sejalan" jeda perempuan paruh baya itu sebelum melanjutkan kalimatnya dan ia seperti sedang berfikir-fikir.

"Namanya kalau gak salah, Sakha apa gitu" kalimat lanjutan perempuan itu membuat mata Sadha melebar, "temui dia di perpustakaan, tadi sudah ibu suruh kesana juga dianya. Kamu jangan sampai gak temui dia ya. Nanti pap ke ibu kalau kalian sudah bareng" kalimat perintah bu Lina membuat Sadha tak habis fikir.

Kenapa selalu saja ada alasan Sadha untuk bersama dengan laki-laki itu. Sungguh Sadha jengah dengan semua permainan semesta ini.

Sadha tidak melangkahkan kakinya ke perpustakaan. Melainkan pergi ke sebuah tempat yang belakangan ini menjadi tempat ternyaman yang sering di datanginya bersama Sakha. Ah lagi, lagi Sadha harus mengingat Sakha.

Pantai yang tidak terlalu ramai pengunjungnya, keindahannya masih terjaga alami. Airnya yang bewarna biru jernih membuat siapapun yang melihatnya tidak ingin pergi dari sana. Apalagi kalau senja mulai bersembunyi di cakrawala, keindahan pantai ini akan semakin menjadi.

Sadha mendudukan badannya di bibir pantai, ia bermain air untuk menenangkan hatinya yang tidak baik-baik saja. Melihat langit yang sepertinya sedikit mendung, tidak ada awan disana.

Iapun berdiri, lalu berjalan-jalan di pinggir pandai sendirian. Menikmati angin yang menusuk badan dengan kencang. Ia memejamkan mata, lalu berteriak dengan sekuat tenaga.

"Aaaaaaaaa....." jeritnya sambil menghentangkan tangan. Perlahan air matanya turun bersamaan dengan tetesan hujan dari awan.

Dua jam sebelumnya...

Sakha ragu ingin bertemu Sadha, entah kebetulan atau memang takdir mereka harus di persatukan dalam tugas. Padahal mereka beda jurusan. Terkadang segala sesuatu di bumi terjadi di luar nalar manusia.

Laki-laki itupun menunggu gadis yang berapa hari ini mampu membuatnya merasa bersalah sekaligus mengacaukan hatinya. Mungkin ini juga waktu yang tepat untuknya memperbaiki semua.

Sudah satu jam lebih Sakha menunggu, tetapi objek yang ditunggu tak kunjung datang. Iapun segera mencari tetapi hasilnya tetap sama. Nihil. Entah kenapa ada satu tempat yang langsung terlintas untuk ditemuinya.

Dan ternyata benar, gadis itu ada disana. Sendirian, duduk lalu jalan di pinggir pantai. Dilihatnya langit kian mendung tetapi Sakha memilih mengamati apa yang akan di lakukan gadis itu, ternyata ia berteriak dan menangis bersamaan dengan turunnya hujan dari langit.

Sakha pun langsung menghampiri, lalu menarik gadis itu ke tempat berteduh. Ternyata gadisnya itu belum kunjung sadar kalau tubuhnya berpindah tempat. Ia masih memejamkan matanya dan menangis dengan sesegukan. Seperti ada beban besar yang di pikul hatinya.

"Gue cinta sama Sakha! Tapi gue benci Sakha" ucapan lirih itu seperti menjadi bom untuk Sakha. Ia menatap lamat-lamat gadis yang masih memejamkan mata dan menangis itu.

Rasa bersalahnya kian membesar, sebegitu besarkah rasa sakit yang ia torehkan kepada gadis ini? Padahal ia berjanji akan menjadi penyembuh, kenapa kini ia menjadi pelaku.

Dibawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya, ia ingin menawarkan sedikit rasa sakit gadis itu. Saat ini ia adalah pecundang hebat  membuat orang yang dicintainya menangis.

Hatinya kini ikut pilu. Hujan semakin deras menemani segala sendu diantara dua manusia yang penuh rahasia.

"Maaf" lirih Sakha tepat di telinga Sadha. Membuat gadis itu tersadar, bahwa dirinya sedang berada di pelukan seseorang.

Dibukanya mata, lalu di dorong badannya keluar dari pelukan nyaman itu dan betapa kagetnya ia melihat seseorang yang bersedia menjadi bahunya itu.

"Sa-k-ha"

------------------------------------------------------

Ceritanya makin ngawur gak sih? Huhu😢

SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang