17

9 2 0
                                    

"Bisa gak sih, sehari aja bebasin gue?" gadis itu sangat kesal kenapa tidak,  Sakha sedari tadi menguntitnya.

"Emangnya lo di penjara? Segala minta di bebasin lagi" bukannya merasa bersalah, Sakha malah tambah membuatnya kesal.

"Terserah" Sadha berucap frustasi.

"Dha, kenapa kita gak pacaran beneran aja ya. Biar gue bisa selalu ada di dekat lo" aura wajahnya berubah menjadi serius. Membuat jantung Sadha seketika bertedak lima kali lebih cepat.

Semu di pipinya terlihat jelas, iapun langsung memalingkan wajah. Berusaha melihat objek lain selain Sakha yang akhir-akhir ini agresif dengannya.

"Lo gila ya" ucap Sadha menyembunyikan kegugupannya.

"Gue bercanda. Mana mungkin gadis cantik, pintar dan terlahir dari keluarga kaya raya mau sama gue" ucapannya terasa pesimis. Sadha menyimpulkan senyuman sendu.

"Kalau ternyata gue bukan anak kandung Malendra. Lo mau sama gue?" gadis itu bertanya hati-hati.

Raut wajah Sakha berubah seketika, membuat gadis itu khawatir. Tapi di detik kemudian, rasa khawatirnya berubah menjadi rasa sakit yang tak terkira.

"Gak la, mana mau gue. Gue mana mau sama orang yang keluarganya tidak jelas. Tapi gue yakin, gak mungkin itu terjadi sama lo" kalimat asal Sakha mampu membuat jantung Sadha seketika berhenti, lalu dadanya ngilu.

Laki-laki itu tak sadar akan ucapannya. Padahal ekspresi Sadha sudah berubah sedari tadi. Tapi Sakha dengan cepat mampu mencairkan suasananya lagi.

"Dha, lo nanti setelah wisuda mau lanjut S2 atau kerja? Eh nanti lo mau jadi apa?" Sakha bertanya berturut-turut.

"Jadi jurnalis" jawabnya singkat,

"Kalau gue mau jadi penulis sejarah. Biar nanti gue bisa nulis sejarah tentang kita. Gue udah bayangin, gimana buku-buku sejarah itu kebanyakan isinya tentang lo, gue, serta anak cucu berdua." Sadha hanya mendengarkan. Rasanya hatinya seperti ada di naikan ke atas udara. Setelah rasa sakit tadi, ada rasa bahagia sedikit. "Itu salah satu mimpi gue setelah ketemu lo Dha" kicauan burung menemani pembicaraan mereka.

"Tapi, gak semua mimpi sesuai rencana. Pasti salah satu atau lebih dari satu ada yang menyakiti." Sadha menatap langit yang semakin terik, "dan kita juga gak bisa ngelak kalau ada hal yang mustahil bagi kita tapi terjadi" tambahnya dengan tersenyum berat.

Sepertinya rasa sakitnya perlahan-lahan mampu membuatnya semakin mengerti tentang hidup yang  keras ini.

Terkadang di satu sisi, ia merasa terganggu dengan kehadiran Sakha tetapi satu sisi ia merasa senang dan nyaman dengan Sakha. Dan dominan rasanya itu adalah rasa nyaman. Semoga, semoga saja hati Sadha tidak jatuh dulu sebelum ia siap melangkah maju.

Sakha tersenyum kearahnya, ternyata gadis yang selama ini selalu menampilkan wajah jutek serta dingin kini perlahan-lahan bisa membuka diri terhadapnya.

Drtt.. drttt..

Attaya is calling

Saat Sadha ingin mengangkatnya, panggilan itu terhenti. Mungkin Attaya hanya ingin memiskolnya. Tetapi ada hal yang membuatnya penasaran, tiga pesan dari Attaya. Iapun segera membukanya.

Attaya
Maaf kalau aku ganggu waktu kamu sama bosmu ya?
Aku cuma mau bilang, ketemuin aku sama dia nanti aja setelah skripsimu selesai.
Besok temeni aku jalan mau? Aku rindu Yogja:) aku tunggu di alun-alun jam 7 malam ya.

Setelah menutup ponselnya, Sadha mengedarkan matanya ke sekeliling. Mencari-cari keberadaan lelaki itu. Tetapi hasilnya nihil. Ia tidak menemukan sosok Attaya.

Kenapa Attaya begitu misteri baginya. Attaya selalu mengetahui apapun sebelum ia menceritakan. Padahal mereka sudah lama berpisah, tetapi Attaya mengetahui semuanya.

Sakha menatap heran gadis di sebelahnya.

"Cari siapa?" tanyanya heran dan penasaran.

"Bukan siapa-siapa." jawabnya singkat.

Suasana siang ini semakin terik, tetapi mereka tetap bertahan di bawah pohon rindang.

"Dha, gue boleh tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Cowok yang kemarin datang ke cafe dan ngobrol bareng lo itu siapa?"

Sebelum menjawab, Sadha menatap lelaki itu. Kepo sekali Sakha ini. Mungkin tidak salahnya juga ia memberi tahu, lagian Attaya sahabatnya dan Sakha adalah temannya. Jadi tak salah jika mereka saling mengenal.

"Bukannya gue ingin masuk terlalu dalam ke hidup lo. Tapi gak ada salahnya kan gue pengen kenal lo lebih jauh?" lanjut Sakha seperti meyakini.

"Dia Attaya. Sahabat SMP gue, dia pindah ke inggris saat kita naik SMA. Dia ngelanjuti studynya di sana. Dulu dia pernah bilang kalau dia akan kembali  setelah selesai sarjana. Dan sekarang itu terbukti" jelas Sadha yang mendapat anggukan paham oleh Sakha.

"Lo bahagia?"

"Yah siapa yang gak bahagia kalau sahabatnya kembali?"

"Iya sih" iapun menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Entah kenapa, Sakha menjadi takut. Takut kehilangan Sadha untuk yang kedua kalinya. Cukup saat SMA ia tidak bisa mencapai gadis itu.

Terkadang takut berlebih juga tidak baik, tapi kadang ada hal yang memang juga tidak bisa kita abaikan keberadaannya.

"Kenalin gue sama dia boleh?" Sakha bertanya hati-hati, entah kenapa ia ingin mengetahui Attaya lebih jauh.

Sadha mengerjap, kenapa Attaya dan Sakha saling ingin mengenal satu sama lain. Kini semua tanya menjadi satu di dalam kepala. Sadha menatap lekat-lekat wajah Sakha.

"Lo ngapain liatin gue?"

"Lo di kasih hati minta jantung ya" katanya sambil memalingkan wajahnya.

"Emang sejak kapan hati lo udah untuk gue?" tanya Sakha yang membuat jantung Sadha berdetak di ambang batas.

"Gue bisa gila kalo terus ada di dekat lo" Sadha mengucap itu sambil berlalu pergi begitu saja meninggalkan Sakha.

"Gue bisa gila kalau gak deket lo Dha" gumam Sakha saat punggung Sadha sudah menjauh darinya.

Ternyata sedari tadi Attaya memperhatikan mereka dari jauh, menyamar menjadi mahasiswa di kampus itu. Tempat yang cukup aman untuknya melihat.

Kali ini Attaya tidak ingin kehilangan sahabatnya itu lagi. Bisakah untuk sekarang ia egois? Apakah ia harus mengalah? Semoga, semoga saja semesta mendukungnya kali ini.

SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang