26

6 2 0
                                    

Langkah kakinya terasa berat, bahkan kesejukan pagi buta yang mampu membuat tubuh manusia lain terasa ngilu baginya tidak ada apa-apa dari rasa sakitnya.

Kini ia duduk di antara ribuan orang lain yang ingin mencari mimpi atau hanya sekedar pulang kerumah yang paling nyaman. Ia merasa hidupnya menjadi kosong, seperti ada yang hilang dari hatinya.

Pesawat yang ia naiki untuk membawanya ke Jakarta akan segera lepas landas. Suara pramugari sudah mulai terdengar untuk memberi tahu tata tertib yang harus di lakukan.

Sakha melirik kesamping, tepatnya ia melirik penumpang perempuan yang duduk di sebelahnya. Ia menghela nafas lagi dan lagi, ia menjadi teringat Sadha. Seharusnya, Sadha yang berada di sampingnya saat ini.

Pikirannya kembali pada kejadian kemarin sore, hatinya kembali terasa sesak.

Sakha membaca halaman pertama buku yang ia berikan untuk Sadha, senyumannya perlahan mengembang serta perasaannya tak mampu ia cegah untuk bertumbuhan bunga. Ternyata, perasaannya selama ini tak sia-sia. Mungkin ia terlalu cepat menyimpulkan hanya karna membaca satu halaman saja, tetapi itu hal yang wajar. Siapapun yang membacanya pasti akan mempunyai presepsi yang sama.

Saat ia ingin membalikan halaman selanjutnya, monitor yang menunjukkan detak jantung gadis itu berbunyi dengan nyaring dan cepat. Sakha dengan cepat langsung menekan tombol darurat untuk memanggil para dokter.  Tak butuh waktu lama, dokter langsung datang dan meminta Sakha untuk keluar agar gadis itu di periksa.

Perasaan khawatir serta takut melingkupi hati Sakha. Ia hanya mampu berdoa agar Tuhan masih menjaga Sadha. Tak lama Shalsa menghampirinya dengan rasa khawatir yang tak kalah oleh Sakha. Sedari tadi ia memang tak melihat keluarga Sadha yang lain.

Setelah itu dokter keluar dengan wajah yang menegangkan, "Segera hubungi orang tua Sadha, dia harus segera kita alihkan ke Jerman secepatnya, kondisinya semakin memburuk."

Sakha yang mendengar itu tubuhnya langsung melemas seperti kehabisan energi, kepalanya terasa sakit dan berat. Sebenarnya semua ini masih tabu baginya, kejadian yang ia tak mengerti serta apa bagaimana bisa Sadha akan dilarikan ke Jerman.

"Maaf mas, sabuk pengamannya segera di pakai soalnya kita akan lepas landas," intruksi itu membuyarkan lamunan Sakha sedari tadi. Iapun tersenyum kikuk dan langsung memasang sabuk pengamannya.

Sebenarnya ia ingin sekali pergi menemani Sadha, ia ingin berada di samping gadis itu. Menemaninya berjuang melawan sakit, tetapi ia tak bisa memilih karena ada tanggung jawab dan mimpi yang harus di selesaikannya agar semua berjalan sesuai rencana.

Ia memandang awan yang semakin lama semakin dekat untuk di pandang, wajah angkuh serta jutek Sadha tergiang-giang di kepalanya. Ia tersenyum, rindunya terasa amat mendalam.

Matanya berusaha dipejamkan, berharap setelah membuka mata kembali rasa sakitnya sedikit berkurang.

"Apa yang mungkin bisa terjadi sama Sadha?" Ia bertanya dengan penasaran.

Lima detik berlalu tetapi tetap tak ada jawaban, malah yang ditanya memandang dengan pandangan kosongnya.

"Sal, gue lagi ngomong sama lo!" bentaknya membuat lawan bicaranya itu tersadar lagi.

"Ada dua kemungkinan, dia akan trauma berat atau lupa ingatan," lirih Shalsa seperti yakin tak yakin.

Pembicaraannya dengan Shalsa kembali tergiang dalam pejaman matanya, iapun membuka matanya lagi dan lagi ia dan bisa menghela nafas.

"Semuanya bahkan belum di mulai kan Dha? Tapi kenapa bisa serumit ini." Ia bermonolog seorang diri,

"Gue janji, gue akan perjuangin lo Dha sampai gue dengar sendiri kalimat penolakan dari mulut lo"

SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang