24

12 2 1
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi. Tetapi lelaki itu masih betah berguling-guling di atas tempat tidurnya. Pikirannya kacau sudah dua hari. Perasaan bersalah dan beribu pertanyaan menyerbu pikirannya.

Ia bangkit, lalu melangkah ke baklon kamarnya. Di pandanginya langit yang sudah semakin cerah, kicauan burung yang hampir tak terdengar lagi. Bahkan matahari siap datang untuk menyinari bumi.

Hari ini ia memang sengaja bolos kuliah, hari ini ia harus menemukan jawaban atas pertanyaan yang sudah menyerangnya.

Sakha memandangi layar hpnya, panggilan yang sedari tadi ia coba masih tak ada jawaban. Mungkin ini sudah panggilan ke 100 kali dalam beberapa jam. Ia menghela nafasnya lagi. Ia mencoba memberi pesan yang kalimatnya selalu sama.

Dha, dimana?

Hanya itu yang bisa ia ketik, hatinya sangat kacau. Gadis itu menghilang sudah dua hari. Sejak dirinya mengatakan cinta. Apakah ia kurang romantis saat mengungkapkan perasaanya? Tentu saja tidak ada romantis-romantisnya, apakah itu yang membuat gadis itu ilfil kepadanya? Apakah Sadha menganggap dirinya hanya bermain-main? Masih banyak pertanyaan lain tergiang-giang dalam pikirannya.

Kemarin laki-laki itu tidak menemukan Sadha di kampus dan Shalsa juga. Ada yang sangat ganjal. Dicari di kos gadis itupun tak ada. Padahal, besok mereka sudah harus pergi ke Jakarta untuk melakukan penelitian. Kenapa semua menjadi sangat kacau. Apa ini salahnya? Terlalu cepat menyatakan cinta.

Diapun segera bergegas pergi, ingin mencari gadis itu lagi. Tujuannyapun tak tentu arah, ia menyetir mobilnya dengan rasa bersalah serta khawatir. Ia belum siap jika harus jauh dari gadis itu. Ah, kenapa ia tidak menghubungi Shalsa. Ternyata kekhawatiran membuatnya menjadi bodoh dan payah.

Di pinggirkan mobilnya di tengah jalan, dirogoh saku celananya. Di cari-cari nama Shalsa disana, ternyata tidak ada. What? Sakha baru ingat ternyata dirinya tak menyimpan nomor Shalsa. Ah, kemana ia harus mencari gadis itu lagi.

Pucuk di cinta ulungpun tiba, seseorang yang berada dalam pikirannya kini namanya tertera di layar hp lelaki itu, senyumannya mengembang. Akhirnya..

"Halo Dha," hening, tak ada suara. Sakha mengerutkan keningnya, tak lama ada suara isak tangis seseorang.

"Dha.. kenapa? Kok nangis?" tapi seperti ada kejanggalan, itu bukan suara Shada.

"Ini gue Shalsa" ternyata benar,

"Sadha mana? Kok hpnya ada di lo" kekhawatiran mulai muncul kembali dalam benak Sakha, pikirannya semakin kemana-mana.

Helaan nafas dan isak tangis Shalsa seperti menyesakkan dada.

"Sadha..." kalimat itu menggantung,

"Sadha mana Sal, ngomong yang jelas!" emosi laki-laki itu kini tak bisa di bendung.

"Sadha koma" dep! pernyataan singkat itu mampu membuat perasaan laki-laki itu semakin kacau. Apalagi ini!

"Kirim alamat rumah sakitnya sekarang sama gue!" katanya cepat lalu ia langsung mengendarai mobilnya tanpa tahu aturan, sekarang ia harus segera menemui gadisnya itu.

---

Ruangan benuansa putih serta aroma obat menjadi pewanginya kini dipenuhi dengan orang-orang yang penuh dengan kecemasan. Rasa bersalah, rasa khawatir, serta rasa iba memenuhi isi hati mereka.

Laki-laki putih bersih dan terlihat masih muda dengan title dokter itu berkata sesuatu yang mengiris hati.

"Kondisi Sadha sudah dua hari semakin menurun, saya khawatir untuk kedepannya." rasa tak enak tampak pada wajah mudanya itu, tetapi apa boleh buat ia harus berkata sejujurnya.

SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang