5

13 3 0
                                    

"Lo gak menghargai gue banget si Dha, lo kenapa sih gak dateng. Semua orang bertanya-tanya tentang keberadaan lo. Mereka curiga, kalo lagi ada masalah sama lo dan keluarga besar Malendra." sepagi ini Shalsa sudah merepet, seperti emak-emak komplek. Sadha masih mengabaikan ocehan gadis di sampingnya itu. Ia masih terus membaca novel keluaran terbaru dari penulis kesukaannya.

"Dha.. sekali aja lo dengerin gue ngomong. Lo gak mikirin perasaan Mama dan Papa lo apa si Dha.. turunin ego lo." Shalsa mulai gemas, ia pun menarik novel yang di baca Sadha agar gadis itu fokus berbicara padanya.

"Mikirin perasaan mereka? Mereka pernah gak mikirin perasaan gue? Kalian pernah gak ngerti apa yang gue rasain? Kalian semua terlalu banyak nuntut ini itu sama gue. Tanpa mereka dan lo pengen tau apa yang gue mau dan rasain. Dan satu lagi. Yang egois itu siapa? Gue atau mereka?" kalimat panjang yang di ucapkan Sadha membuat hati Shalsa ngilu.

Ia lebih baik melihat Sadha yang tidak meresponnya. Sahabat sekaligus saudaranya itu tak pernah mengeluh tentang apa yang ia rasakan, semuanya di pendam sendiri. Dan saat ini, air mata Shalsa tak terbendung.

"Kenapasih harus lo yang rasain ini semua Dha." katanya disela-sela isak tangisnya.

---

Sadha sudah duduk di bangku taman kampusnya. Ia ingin mencari ketenangan. Jika membicarakan itu, rasanya sakit, perih. Ia kembali membaca novel yang sempat terpotong tadi. Tetapi pikiran melayang entah kemana, sampai kenangan masa lalunya mengenang.

Saat itu, Sadha menjadi perwakilan dari sekolahnya untuk mengikuti olimpiade matematika dan debat tiga bahasa tingkat nasional. 

Ia duduk di kelas 11, memang sudah tak heran ia selalu menjadi perwakilan dalam perlombaan apapun dan selalu menang.  Olimpiade matematika Sadha menduduki peringkat satu nasional, begitu pula dengan debat tiga bahasa.

Namanya di panggil di depan lapangan saat upacara. Tepuk tanganpun mewarnai. Setelah selesai ia menyerahkan piala itu ke pihak sekolah, selesai pula ucaparanya juga. Dan saat itu juga, seseorang menghampirinya.

"Wah kamu hebat Dha, selamat ya."  Lelaki dengan senyum magisnya membuat jantung Sadha tak karuan.

"Terimakasih kak Bagas." Sadha menjawab dengan gugup. Ia menunduk. Bagaimana mungkin, orang yang ia kagumi ini berbicara dengannya. Mimpi apa Sadha.

"Ntar malem kamu ada acara gak Dha?" tanya Bagas yang membuat Sadha menggeleng cepat lalu menatapnya.

"Kalo gitu, aku mau ngajak kamu dinner. Anggap aja itu sebagai hadiah untuk kamu." Bagas berkata membuat Sadha tak berhenti senyum. Membuat teman-teman dan seluruh sekolahnya mengira kalau Sadha bahagia karena juaranya. Padahal tidak. Saat SMA sadha memang terkenal sebagai anak yang murah senyum dan ceria. Dan ini lah dimana segala kisah dimulai.

Senyum getir Sadha mengembang, ia mengingat kejadian yang cukup manis. Tetapi sakit jika di rasa. Ia memejamkan mata, lalu membuang napas secara kasar.

"Kata bokap gue, kalo kita menghela napas kayak gitu. Berarti kita uda ngebuang satu kebahagian dalam diri kita" suara yang mulai familiar di telinga Sadha itu membuatnya membuka mata, ternyata benar. Itu Sakha. Dia sudah duduk manis tepat di sebelah Sadha. Lagi dan lagi, Sadha menghela napasnya.

"Lo uda ngebuang dua kebahagian." matanya menatap wajah Sadha lekat-lekat.

"Sayang ya, lo cantik-cantik gini gak pernah senyum. Hidup lo kayak sepi. Dan lo gak pernah mensyukuri hidup kayaknya." kalimat itu keluar dengan enteng dari mulut pedas lelaki itu.

Sepi? Apakah orang lain melihat kesepiannya? Bersyukur? Apa yang harus ia syukuri tentang hidupnya ini. Rasanya semua menyakitkan.

"Mau lo apa?" pertanyaan tak bersahabat itu Sadha lontarkan dengan nada dinginnya.

"Gue mau berteman sama lo." Sakha menjawab dengan santai, seolah tak terganggu dengan tatapan maut Sadha.

"Gue gak tertarik." Sadha sangat kesal hari ini. Mood nya sangat rusak. Ia ingin menenangkan diri dari Shalsa. Dan kini ternyata pengganggu hidupnya bertambah. Cowok itu sangat menyebalkan. Semesta kenapa selalu mempertemukan dia dengan orang-orang yang membuat hidupnya menjadi sangat kacau lagi.

"Gue pastiin, lo akan bisa nerima gue" kata Sakha pelan yang melihat punggung Sadha menjauh.

SADHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang