Christian berdiri di atasku memegang sebuah cambuk berkuda dari anyaman kulit. Dia hanya mengenakan Levi’s tua yang pudar dan robek. Dia menjentikkan cambuknya perlahan ke telapak tangannya saat ia menatap ke arahku. Dia tersenyum, penuh kemenangan. Aku tak bisa bergerak. Aku telanjang dan dibelenggu, telentang di tempat tidur besar bertiang empat. Menjangkau ke depan, dia meletakkan ujung cambuk di dahiku kemudian turun di sepanjang hidungku, jadi aku bisa mencium bau kulit, dan diatas bibirku yang terbuka, terengah-engah.
Dia mendorong ujungnya ke dalam mulutku sehingga aku bisa merasakan kulit halus itu.
“Hisap,” perintah dia dengan suara lembut. Mulutku menutupi ujung cambuk saat aku menaatinya.
“Cukup,” bentak dia.
Aku terengah-engah sekali lagi saat ia menarik keluar cambuknya dari mulutku, menjalankan turun ke bawah daguku, turun ke leherku pada cekungan di dasar tenggorokanku. Dia memutar perlahan-lahan di sana dan kemudian terus menarik ujung cambuknya menelusuri ke bawah tubuhku, sepanjang tulang dadaku, di antara buah dadaku, dari tubuh bagian atasku ke pusar. Aku terengah-engah, menggeliat, menarik pengikat yang menggigit pergelangan tangan dan pergelangan kakiku. Dia memutar ujung cambuknya di sekitar pusarku kemudian terus menelusuri ke bawah, melalui rambut kemaluanku menuju klitorisku. Dia menjentikkan ujung cambuknya dan mengena tepat dititik kenikmatanku dengan sengatan tajam, dan aku klimaks, meneriakkan pembebasanku.
Tiba-tiba, aku terbangun, terengah-engah, tertutup oleh keringat dan merasakan pengaruh yang masih tersisa dari orgasmeku. Sialan. Aku benar-benar kehilangan arah. Apa yang barusan terjadi? Aku di kamar tidurku sendirian. Bagaimana? Mengapa? Aku duduk tegak, terkejut… wow. Sudah pagi. Aku melirik jam alarmku – jam delapan. Aku meletakkan kepalaku di tanganku. Aku tak tahu aku bisa bermimpi tenyang seks. Apakah itu karena sesuatu yang aku makan? Mungkin tiram dan penelitian internetku mewujudkan dirinya dalam mimpi basah pertamaku. Ini membingungkan. Aku tak tahu bahwa aku bisa orgasme dalam tidurku.
Kate sibuk di dapur saat aku terhuyung-huyung masuk.
“Ana, kau oke? Kau terlihat aneh. Apakah itu jaket Christian yang kau kenakan?”
“Aku baik-baik saja.” Sial, seharusnya aku bercermin dulu. Aku menghindari tatapan mata hijaunya yang menusuk. aku masih belum pulih dari kejadian pagiku. “Ya, ini adalah jaket Christian.”
Ia mengerutkan kening.
“Apakah kau tidur?”
“Tak terlalu nyenyak.”
Aku berjalan menuju ketel. Aku butuh teh.
“Bagaimana makan malamnya?”
Jadi sudah mulai.
“Kami makan tiram. Kemudian ikan cod, jadi aku akan bilang itu amis.”
“Ugh… Aku benci tiram, dan aku tak ingin tahu tentang apa yang kalian makan. Bagaimana Christian? Apa yang kalian bicarakan? “
“Dia penuh perhatian,” aku berhenti sejenak.
Apa yang bisa aku katakan? Bahwa status HIV-nya bersih, dia penggemar berat permainan peran, menginginkan aku mematuhi setiap perintahnya, ia pernah menyakiti seseorang yang terikat ke langit-langit kamar tidurnya, dan ia ingin bercinta denganku di ruang makan pribadi. Apakah itu akan jadi ringkasan yang baik? Aku mencoba keras mengingat-ingat sesuatu dari pertemuanku dengan Christian yang aku dapat diskusikan dengan Kate.
“Dia tak menyetujui Wanda-ku.”
“Siapa yang tidak, Ana? Itu berita lama. Mengapa kau begitu malu-malu? Menyerahlah, kawan.”
“Oh, Kate, kita berbicara tentang banyak hal. Kau tahu – bagaimana rewelnya dia soal makanan. Kebetulan, dia suka gaunmu.” Ketelnya mendidih, Jadi aku membuat teh. “Apakah kau ingin minum teh? Apakah kau ingin aku untuk mendengar pidatomu hari ini?”