(5) Ngomong Lagi Aku Tendang Kamu

396 18 0
                                    

Deva Mahendra Wijaya, namanya. Sosok pria baik yang kutemui malam itu. Dan kami dipertemukan kembali dalam suasana yang berbeda. Ayah memintanya menikahiku dengan alasan lucu. Tender perusahaan.

Ya, hanya demi sebuah tender pria itu menikahiku. Bukan cinta ataupun sebuah rasa sayang.

Awalnya aku tidak menerima dirinya menjadi suamiku. Tapi nyatanya aku harus menyerah pada takdir sang maha pencipta. Dia pria yang baik, bertanggung jawab, penyayang keluarga, dan pastinya dia pria berbeda yang pernah aku temui waktu kuliah dulu.

Sifatnya yang humoris sesekali membuatku tersenyum. Entah terakhir kali aku bisa melakukan itu kapan. Hanya dia yang mampu menurutku. Tidak ada yang pria manapun yang bisa.

Dia membawaku dalam lingkungan yang berbeda. Mamanya yang bernama Sonya sangatlah baik. Beliau menerimaku tanpa bertanya tentang siapa aku? Berasal dari keluarga berada atau tidak? Lulusan apa? Atau bahkan titleku apa?

Wanita itu sangatlah penyayang keluarga. Aku serasa hidup kembali ketika masuk ke keluarga ini. Ya, keluarga yang lebih akan canda tawa dan lelucon. Hanya satu yang pria yang menurutku tidak bisa melucu di rumah ini.

Dimas namanya. Adik kandung suamiku. Dia sudah beristri dan akan segera mempunyai anak lagi. Dia jarang sekali mengeluarkan suaranya ketika ditanya. Dia hanya terfokus pada berkas, berkas, dan berkas. Hanya pikirannya dipenuhi oleh berkas perusahaan keluarga

Malam itu dia pulang agak larut. Sesuai dengan apa yang dikatakannya waktu sebelum kami menikah.

"Saya itu tipikal orang yang jarang di rumah, Pak. Jujur saja. Saya paling pulang seminggu sekali kadang tiga kali. Saya takut putri Bapak kecewa ataupun bosan seperti mantan-mantan saya."

Wajahnya yang biasa dihiasi senyum entah ke mana perginya. Hanya ada raut ketegangan dan tertekan yang bisa dibaca dengan mudah. Ya, dulunya aku kuliah di fakultas psikologi.

Jadi dengan mudah aku bisa melihat mana orang yang jujur dan mana orang berbohong. Untuk melihat suamiku berbohong atau tidak itu mudah. Kita hanya melihat dari caranya berbicara dan gesture tubuhnya.

"Kamu belum tidur?" tanyanya dengan meletakan tas kerjanya di samping sofa.

Aku menggeleng lemah. "Belum. Lagian aku pengen liat suamiku pulang jam berapa kalau kerja."

Dia bergeming. Lebih sibuk dengan kancing lengannya dan jam tangan.

"Apa kau biasanya pulang jam segini?"

Dia menggeleng lemah. Matanya terlihat agak ngantuk namun tetap dipertahankan untuk tetap terbuka.

"Kadang, tapi bisanya lebih awal dari pada ini. Tadi ada sedikit kendala, makanya aku minta pada Marcello untuk mengundur rapatnya jadi jam 8 malam. Dan, jadilah aku pulang kemalaman," jelasnya dengan sedikit terdengar tawa dari mulutnya.

Apa dia tidak pernah merasa sedih? Setiap hari dia tertawa tanpa pernah aku lihat dia menitihkan air mata. Ya, aku akui kami pribadi yang berbeda. Dia suka membuat lelucon dan suka tertawa. Tapi aku tidak. Aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya tertawa seperti dirinya.

"Em ... besok kita pindah, ya," katanya tiba-tiba. Aku mendongak menatap wajahnya lekat-lekat. "Kenapa buru-buru? Lalu, pindah ke mana?"

Dia bergeming lalu melangkah menuju kamar mandi. Terdengar suara kran air mengalir dari dalam lalu kemudian menghilang.

Pria itu keluar dengan wajah terlihat segar. Aku rasa dia baru saja mencuci wajahnya. Dia melangkah melewatiku lalu berhenti. Almari dibukanya lalu dirinya mengambil sepotong baju dan celana lalu kembali lagi ke kamar mandi.

TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang