(1) Nikah atau Batal?

1K 28 0
                                    


"

Bang, cari istri kenapa? Jomlo mulu? Gak malu apa sama adekmu itu yang mau punya anak lagi. Lah kamu, udah kepala tiga masih aja menyendiri! Nunggu apa lagi sih, Bang? Nunggu Mama mati baru kamu nikah?!"

Ini nih ... aku paling males kalau pulang ke rumah. Pasti mama bakalan ceramahi aku pajangan kali lapangan sepak bola saking puanjangnya. Aku hanya bisa bersabar dalam hati sambil mengusap dada walau sebenarnya uenek banget sama ocehan mama yang itu-itu saja.

Kucuri semua oksigen di sekitarku. Melahapnya bulat-bulat dan mengelurkannya dari mulut berupa desahan. Jika dari bawah bisa kacau. Orang-orang pasti bakal lempari aku pakai panci bahkan wajan tetangga yang sudah bolong.

"Mamaku yang paling sayang, yang paling aku ciiintai! Abang harus bilang apa lagi sama mama, sa-bar. Nanti bakalan aku kenalin dia ke mama. Tapi gak sekarang. Abang masih ingin hidup bebas." Aku menoleh ke arah Dimas. "Gak diatur sama wanita!"

Nampaknya Ayudia adik iparku mulai tersinggung. Dia bangkit dengan melangkah tergopoh-gopoh memenangi perutnya yang besar pertanda adanya nyawa di dalam sana.

"Yank, mau kemana?" tanya adik tiriku mengejar istrinya. Dasar suami takut istri!

"Kamu liat, apa yang kamu katakan tadi. Ayudia jadi ngambek, 'kan!" Mama kembali melemparkan timah panas berupa omongannya yang nyelekit. Bangkit lalu melenggang meninggalkan mama dengan sejuta rasa sakit di dalam dada.

"DEVA, MAU KE MANA KAMU?!"

Kuhiraukan teriakan mamaku yang super bawel itu. Aku mulai melakukan panggilan jarak jauh dengan sekertarisku Marcello. Menunggu hingga suara terdengar dari ujung telepon. Duh, lamanya. Ke mana nih bocah?

"Celo, kita ketemu di kafe Arrest sekarang. Saya mau cerita!"

Sambungan telepon kuputus lalu melangkah menuju mobilku yang terparkir.

***

"Keinginan mama, Tuan?" Aku bergeming. Mataku terus memandang seorang pria dan wanita yang tengah berpegangan tangan. Mereka terlihat seperti pasangan kekasih. Atau memang mereka memang begitu?

"Sebaiknya Anda mencari pendamping hidup, Tuan. Usia Anda tidak muda lagi. Dan saya sarankan agar Anda cepat menikah."

Pandanganku beralih pada sekertarisku, Marcello Caniago. Pria berpostur tinggi dengan kulit hitam menatapku dengan wajah datar. Dia merupakan pria keturunan suku Afrika asli.

"Kamu sama cerewetnya dengan mamaku rupanya. Aku memintamu untuk mencarikan saya jalan keluar dari semua masalahku, bukan malah menyuruhku untuk menikah!" tandasku. Kuraih gelas jusku. Menenggaknya hingga tandas lalu buru-buru melangkah pergi.

"Tuan, itu jalan satu-satunya yang bisa Anda dilakukan. Apa lagi selain menikah!" Dia berteriak padaku.

Aku juga ingin menikah. Tapi, aku tidak punya calonnya. Bodoh! Beberapa kali aku menjalin kasih, tapi ujungnya kandas juga.

Tidak ada yang berjalan sampai menuju pertunangan ataupun pernikahan. Hanya kandas di tengah jalan dengan alasan aku terlalu sibuk dan selalu mangkir dari janji yang telah kuucap. 

Mobil berjalan melambat kala aku melihat sebuah kejahatan di depan mata. Sebagai pria gentle, aku harus membantunya. Bukan membantu menarik wanita itu, ya. Kasih underling jangan pula. Bila perlu di kasih bold biar lebih jelas lagi.

Pintu mobil kututup dengan pelan. Kalau dibanting sayang nanti pecah. Eh, bukan kaca, ya? Dasar dodol! Aku merangsek mendekati mereka. Kemudian mengacungkan telunjuk dan berteriak.

TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang