(20) Bocah Sialan

315 24 3
                                    

"Bican."

"Apa?" tanyanya.

Kuulurkan tangan mengelus kepalanya. Dia tersenyum padaku.

"Besok kita pindah, yuk? Udah hampir seminggu loh kita di rumah Ayahmu. Aku gak enak sama beliau."

Dia meraih tanganku lalu mengecupnya. "Oke. Em, bye the way ... bagaimana dengan Shafira? Apa dia akan ikut dengan kita?"

Kuhela napasku memikirkan wanita bercadar itu. Hatiku mengatakan iya tapi otakku mengakan tidak. Sedangkan tadi sore El mengatakan kalau Shafira menyukaiku. Antara percaya dan tidak, begitulah.

Salsa mengibaskan tangannya tepat di depan wajahku membuat lamunan di kepalaku ambyar. Seambyar pikiranku sekarang.

"Kok malah ngelamun! Mikirin apa, sih?" Wajahnya cemberut membuatku tak ayal menyunggingkan seulas senyum.

"Ya mikirin istriku yang paling cantik dan imut ini lah. Masa mikirin siapa?"

Wajahnya memerah hingga cubitan kecil di perutku membuatku mengaduh. Padahal tidak sesakit dulu. Kupasang wajah kesakitan. Aku mau lihat, bagaimana reaksinya nanti.

"Kau tidak apa-apa? Apakah sakit?"

"Kau benar-benar tidak berubah, Bican. Setiap kali aku menggodamu pasti kau langsung menggunakan jurus andalanmu itu. Kalau tidak mencubit pasti tanganmu akan melayang di pipiku."

Dia terlihat menyesal atas perbuatannya padaku. Aku terkesiap kala tangannya terulur hampir menyentuh perutku. Dengan cepat kuraih tangan itu dan sedikit menariknya hingga tubuh kami tiada jarak lagi.
Tidak ada perlawanan darinya. Tangannya bahkan tubuhku lalu membenamkan wajahnya di dadaku.

"Aku rela disiksa olehmu asalkan aku bisa selamanya menjadi suamimu."

Isak tangis terdengar jelas di telinga. Kuusap rambutnya lalu mendaratkan kecupan manis di kening Salsa. 
"M-ma-afkan a-aku."
Kurengkuh tubuh kurusnya dengan perasaan sayang.

"Tidak perlu kau minta maaf padamu, Sayang. Justru akulah yang harusnya minta maaf belum bisa membimbingmu ke jalan Allah."

Esok harinya setalah perbincangan tadi malam kami lewati, kami berdua memutuskan untuk pulang ke rumahku. Pak Djoko sebagai Ayah istriku menyarankanku untuk menjaga Salsa. Aku hanya bisa tersenyum kecil menanggapi permintaan beliau.

"Yah, Salsa pamit." Salsa memeluk Ayah mertuaku dengan tangis yang tak bisa dibendung.

Apa Mama sewaktu menikah dengannya seperti ini? Menangis waktu Kakek melepasnya pergi ke rumah suaminya? Apa Mama menangis seperti Salsa juga? Memeluk Kakek tanpa mau melepaskannya?
Kuhela napasku lalu mengusap wajahku dengan kasar. Salsa melepaskan pelukannya lalu berdiri di sampingku dengan menghapus air matanya yang mengalir.

"Nak Deva."
Aku menoleh ke arahnya. Beliau memegang kedua bahuku lalu menarik tubuhku memelukku. Aku terdiam menikmati apa yang dilakukan Ayah mertuaku itu. Nyaman namun terasa sakit di dada.

Apa ini rasanya dipeluk oleh sosok seorang Ayah? Tanpa terasa air mataku mengalir tanpa kusadari. Segera kuusap air mata ini ketika Pak Djoko melepaskan pelukannya padaku.

"Jagalah putriku. Bimbinglah dia menjadi istri yang baik untukmu. Ayah percaya padamu." Beliau mengusap kepalaku membuat air mataku yang sedari tadi kutahan mengalir juga.

"Kau anak yang baik. Pasti Ayahmu bangga memiliki anak baik seperti dirimu, Deva."

Kuusap air mataku lalu tersenyum miris. Miris karena mengingat kehidupanku yang penuh akan luka dan air mata.

TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang