"Lah, bukanya tadi nanya siapa saya gimana sih!"
Mereka saling menyalahkan. Saling sulit sembari berbisik."Kalian berdua kalau mau debat entar aja, aye mau lewat. Permisi."
Aku melangkah sembari tetap menggandeng tangan perempuan yang bernama Shafira yang baru saja aku ketahui setelah pria yang berusaha melecehkannya berteriak memanggil nama Shafira.
Kalau bukan namaku berati namanya. Ya iyalah namanya. Namaku tuh Deva. Bukan Shafira. Sejak kapan Mama motong kambing lagi buat akikah? Kayaknya enggak, deh.
Aku hampir saja mencapai mobil lalu buru-buru berlari kala sebuah teriakan. Dua orang yang tadinya berdebat mengejar kami.
"Ayo cepat masuk!" perintahku.Shafira masuk ke dalam lalu memasang safety belt-nya. Segara kupijak pedal gas membawa lari mobil mengarungi jalanan yang gelap tanpa penerangan satu pun di kanan dan kiri jalan. Bisa kulihat dari spion mobilku kedua pria itu berlari mengejar lagi mobilku. Entah pria satunya pergi ke mana.
Kuhela napasku sembari melonggarkan paru-paruku yang tadinya terasa sesak. Kulirik wanita di sampingku dengan miris. Untung aku datang di saat waktu yang tepat. Kalau enggak aku tidak bisa membayangkan apa yang akan dia hadapi selanjutnya. Aku tidak mau ada yang menjadi korban selanjutnya lagi.
"Siapa namamu?" tanyaku sembari membuka topik pembicaraan.
"A-ana Shafira Ayudia Inara."
Aku mengangguk. "Rumahmu di mana kalau boleh saya tau?"
Dia bergeming tanpa mau menjawab pertanyaanku. Dering panggilan masuk mengalihkan fokusku pada jalanan. Kuraih ponselku di dashboard melihat siapa yang menelpon. Salsa. Kutepuk keningku hampir saja melupakan janjiku dengannya. kusambungkan pada clip phone yang telah kupasang sebelumnya.
"Iya, ada apa?"
"Kamu udah sampai di mana? Lama banget?"
"Maaf, tadi ada sedikit ada masalah. Jadi kayaknya aku bakalan telat. Ini aja baru sampai setengah perjalan."
"Oh, begitu. Baiklah aku akan tetap menunggumu. Selamat menyetir. Dah, Kak Deva, Sayang. Aku sayang kamu."Sambungan telepon diputus. Wajahku memanas kala mendengar ungkapan sayangnya padaku. Dadaku berdebar tak karuan kala mendengarnya.
"Tuan."
Aku menoleh kearahnya. Wanita bercadar itu menunduk sembari memainkan ujung kimarnya. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kain berwarna merah muda itu menghalangi wajahnya. Cantik atau jelekkah wajah di balik lain itu?
Tapi kata Yuriko teman wanitaku mengatakan relatif. Kadang ada yang cantik kadang pula ada yang cantik banget. Pake banget ya jangan lupa.
"Ya."
"Syukron, jazakallahu khairakatsirah."
Aku mengangguk mantap. "Na'am, oh ya, rumahmu di mana?"
"Ana kabur dari rumah. Ayah menjualku pada pria itu."
Miris sekali nasib wanita di sampingku. Hidupnya lebih miris sepertinya dari hidupku. Apa aku ajak dia saja ke rumah Salsa? Ide bagus. Kamu benar-benar pintar Deva. Setidaknya dia bisa bekerja di sana kalau boleh sama Pak Djoko sih?"Em ... kalau begitu kau ikut saja dengan saya. Saya bukan orang jahat, kok. Saya ada teman wanita. Niatnya malam ini juga saya diundang ke rumahnya untuk makan malam," jelasku dengan mengalihkan fokusku pada jalanan yang mulai padat dengan kendaraan.
"Apa tidak merepotkan, Tuan."
Aku menggeleng pelan. "Apa kamu bisa mengaji?" Aku menatapnya dari ujung mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]
HumorDeva Mahendra Wijaya, CEO muda perusahaan Deva's Grup harus menikahi seorang wanita bernama Salsabila demi menyelamatkan perusahaanya dan mendapatkan sebuah tender. Laka-liku petualang di mulai ketika masalah datang. "Apa kau ingin tetap mengikuti...