(13) Ayah Untuk Anakku

319 14 0
                                    


Ketukan pintu membuatku buru-buru berlari membuka pintu. Jantungku rasanya terhenti kala melihat siapa malam-malam begini bertamu. Apa Kak Deva sudah pulang?

"A--ayah ...."

Beliau menatapku dari atas maupun bawah dengan tatapan takjub lalu tersenyum kecil. Senyum yang tak pernah aku lihat seumur hidupku.
Kutundukan wajahku sembari mencium tangannya. Beliau menyentuh kepalaku sesekali mengusap kepalaku.

"Bagimana kabarmu?"

"Baik, Yah. Ayo, masuklah."
Beliau masuk duluan sembari mengamati rumah Kak Deva. Sesekali beliau mengangguk puas lalu mengenyahkan diri di sofa.

"Ayah mau minum apa?"

"Biasa."

Aku mengangguk lalu mengenyahkan diri menuju dapur. Kutakar biji kopi, memasukan air, lalu menyetel mesin. Sembari menunggu kopi di saring, kuraih cangkir dari buffet lalu meletakan cangkir di piring kecil.

Dari sini aku bisa melihat Ayah tengah berbalas pesan entah dengan siapa. Setelah kurasa sudah cukup, aku melangkah dengan kopi di tangan menghampiri Ayah.

"Ini kopinya, Yah. Tanpa gula seperti biasanya, bukan?"

Beliau bergeming lalu mengambil cangkir kopi tersebut lalu mulai menyesapnya perlahan.
Kuhempaskan bobotku di sofa single di sampingnya sesekali  mengamati beliau dalam diam. Bunyi cangkir diletakkan di meja membuyarkan keheningan di antara kami.

"Apa dia sudah mengetahui jika kau tengah mengandung?" 

Aku menggeleng pelan sembari menahan sakit yang kurasakan. Ayah mengusap wajahnya kasar.
"Aku takut dia marah padaku, Yah." Hanya itulah yang aku bisa katakan.

Ayah mendesah panjang lalu melempar pandangannya ke arah pintu yang terbuka. "Suamimu biasanya jam segini belum pulang?" tanya sembari mengamati pintu yang terbuka lebar.

"Iya, palingan dua jam lagi dia pulang atau kadang tidak pulang dan lebih memilih menginap di kantornya karena pekerjaan."

Beliau mengalihkan pandangnya padaku. Lebih mirip seperti wanita ketimbang seorang pria dewasa.

"Dia pria pekerja dan berdedikasi tinggi dengan apa yang dikerjakan. Makanya Ayah memilihnya untuk menjadi Ayah dari anak yang kau kandung itu." 

Hatiku rasanya tercabik-cabik mendengar penuturan Ayah tentang anak yang tengah aku kandung. Mataku mulai memanas membayangkan betapa baiknya suamiku itu.
Dia sama sekali tidak pernah marah atau pun membentakku karena aku suka berbuat semena-mena padanya. Dia malah hanya tersenyum kala aku sedang marah. Dan dia tidak pernah membalasnya dengan kasar padaku. Malah dengan kata-kata menyentuh jiwaku.
Membuatku merasa bersalah padanya.
Ketika aku menendang, menampar, bahkan membuatnya babak belur, dia sama sekali tidak marah. Entah bagaimana aku bisa melakukan yang tidak pantas seorang wanita lakukan terhadap suaminya. Yang jelas saat itu yang terbayang di depanku bukalah Kak Deva melainkan pria brengsek itu.

"Jangan libatkan dia dalam masalahku, Yah. Dia tidak bersalah. Kak Deva pria yang baik. Aku tidak mau dia kecewa padaku dan akhirnya aku dicampakkan seperti yang dilakukan pria itu padaku," ucapku sembari terisak.

Aku merasa semakin kotor jika mengingat naifnya aku menerima pria itu sebagai kekasihku. Dan ketika itu dia pula yang merenggut kesucianku hingga akhirnya aku hamil seperti ini.

TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang