(23) Morning kiss

305 19 0
                                    

Aku terus melangkah menuju bagian pakaian wanita. Para petugas yang berjaga memberi hormat padaku. Para bodyguard-ku memilih di depan tanpa mau membuat keributan. Pasalnya badan mereka kekar dan tinggi. Sedangkan aku ... kerempeng dan pendek.

Berotot sih. Tapi tidak sebesar punya para bodyguard-ku itu. Salsa denganku jika memakai hils saja sangat tinggi. Makanya aku melarangnya memakai sepatu dengan hils tinggi. Itu sangatlah mengejek.

Kuraih salah satu gaun malam indah di gantungan. Cantik sih. Tapi mana mau dia memakai pakian dengan bagian depan terlalu rendah. Apa lagi tanpa lengan. Em ... tapi kalau dia pakai di depanku mungkin dia mau. Ya. Ambil saja lah. Kalau dia gak mau aku bisa menyumbangkannya pada Marcello nantinya.

Aku kembali melangkah bagian pakaian lainnya. Kini gamis merah muda menarik perhatianku. Kuraih gamis itu dan mengukurnya dengan tubuhku. Kutarik segurat lengkungan di bibirku. Pas. Kulihat harga yang telah dibandrol di pakaian itu. Hem, hanya 1,2 juta. Gak terlalu mahal.

Kuberikan pada Marcello. Dia menghela napas. "Apa sudah, Tuan?" tanyanya yang bosan menerima pakaian itu.
Aku bergeming lalu melangkah menuju meja kasih. Marcello menyerahkan beberapa potong pakaian di meja lalu melangkah mundur.
Si pramuniaga meraup pakaian itu lalu memasukannya dalam tas belanjaan. Jemarinya mulai mengetik di atas keyboard komputer lalu menyodorkan dua kantung belanjaan tersebut padaku.

"Semuanya jadi 4 juta, Pak."
Kuserahkan gold card milikku. Sang pramuniaga menerima kartu tersebut lalu menggesek kartuku pada mesin ATM kemudian menyerahkan kembali.

Marcello meraih belanjaanku lalu melangkah di belakang mengikutiku keluar dari dalam. Para bodyguard yang tadi berdiam diri di depan pintu masuk berbaris lalu melangkah pergi dengan mengapit diriku di tengah.
Dari depanku segerombolan gadis saling kejar hingga salah satu dari mereka tak sengaja menabrak bodyguard di depanku hingga terjatuh ke belakangku. Aku berusaha berkelit namun tangannya mengenai topi yang kupakai hingga terlepas dari kepalaku.

Para bodyguard-ku berjibaku membantu salah satu dari mereka tanpa melihat para gadis itu menatapku tanpa berkedip hingga detik berikutnya mereka menjerit histeris meneriaki namaku.

"AH, BANG DEVA!"

Semua mata menoleh ke arahku dengan keheranan. Dengan jurus langkah seribu aku melesat cepat bagaikan setan meninggalkan Marcello yang melongo dan bodyguard-ku yang memandang keheranan.

Kuturuni escalator dengan langkah cepat. Beberapa kali aku tak sengaja menabrak pengguna tangga berjalan itu.
"Bang Deva, tunggu!"

Para gadis itu tak lelahnya mengejarku. Aku terus berlari hingga sampai di beranda mall. Kulambaikan tangan pada taksi yang tak jauh dariku. Beberapa kali aku menoleh ke belakang melihat seberapa banyak orang yang mengejarku. 

Taksi melambat lalu berhenti di depanku. Seorang pria turun dari dalam. Segera aku masuk ke dalam dan meminta supir untuk melajukan taksinya. 

Kuhela napasku karena lelah luar biasa. Berlari saat malam memang luar biasa melelahkan. Terdengar Marcello berteriak di belakang mobil yang kutumpangi.

"Kita mau ke mana, Pak?"

Aku menyebutkan alamat yang harus supir itu tuju. Kurogoh ponsel-ku yang sedari tadi bergetar lalu melihat siapa yang menelepon. Marcello. Kugeser tombol hijau lalu mengangkatnya.

"Halo? Ada apa?"

"Tuan, Anda dimana? Ini belanjaannya gimana?" Diujung telepon aku bisa mendengar kepanikan yang terjadi.

"Antarkan ke rumah saya saja. Bungkus yang rapi dan berikan padanya."

***

Setelah membayar ongkos taksi, kuputuskan masuk ke dalam. Di depan pintu Salsa berdiri dengan kantung belanjaan di tangan.
Dia tersenyum manis membuatku semangat kembali untuk hidup. Kalau ditanya aku sudah mati, enggak juga. Hanya kadang semangatku mati kalau tidak melihat senyumanmu, Sayang. Eak, bucin.

TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang