(18) Kemarahan yang Membawa Petaka

333 19 1
                                    


"Apa yang Anda pikirkan, Tuan? Kok ngelamun gitu? Ada masalah?" tanya si Marcello Chaniago dengan kening mengerut.

Kuraih cangkir kopi di sampingku lalu menyeruputnya. "Instingmu rupanya tajam juga, Cello."
Kuletakan cangkir itu lalu mengendurkan dasi. Rasanya beberapa hari berpikir membuat leherku terjepit.

Marcello terkekeh geli. "Memangnya saya baru kerja berapa Tahun hingga tidak mengerti sifat Tuan kalau sedang galau. Coba cerita. Mungkin saya bisa bantu."

Aku mulai menceritakan krologis kejadiannya. Dari pertama aku menikahi Salsa hingga kebenaran yang baru beberapa minggu terungkap tentang kehamilannya itu.

"Wah, istri Tuan benar-benar jahat. Kalau saya jadi tuan pasti sudah saya perkarakan masalah ini ke jalur hukum."

Dia berkomentar dengan wajahnya yang memerah. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum kecil melihatnya bersikap sedemikian rupa.

"Saya pernah di posisi itu. Di mana antara kecewa dan terluka aku rasakan. Namun kecewa saja tidak akan mengubah semuanya menjadi baik, bukan? Menurut saya, kedewasaan diukur dari seberapa bisa kita mengontrol emosi dan memaafkan seseorang."
Dia bangkit dan memberi tepuk tangan. Wajahnya terlihat tidak percaya dengan baru saja aku katakan padanya.

"Luar biasa Anda, Tuan. Anda cocoknya jadi seorang motivator seperti Mario Teguh ketimbang menjadi seorang pebisnis muda."
Kuraih bekas tisu di sampingku lalu melemparkan padanya. Dia mengelak lalu mentawaiku.

"Jangan galak-galak napa, Tuan? Itu bukan sifat Anda banget. Kalau boleh tau, siapa nama pria itu. Siapa tau saya tau. Kalau enggak fotonya."

Boleh juga.

Galeri kubuka lalu menyodorkan padanya. Dia yang tadinya menghindar mendekat lalu mengenyahkan diri kursi putar di depanku. Dia langsung menarik ponselku lalu melihat foto itu.
Keningnya mengkerut. "Kayaknya saya pernah melihat orang ini di klub tadi malam."

***

Malam harinya aku bersama Marcello dan beberapa anak buahku meluncur ke TKP melakukan aksi penangkapan. Layaknya film actian itulah.
Mobilku dengan mobil Marcello berhenti di sebuah klub malam di kawasan pusat Jakarta. Tempat ini lebih hidup ketimbang daerah lainnya.

Para pengusaha yang berduit tebal terlihat mendatangi tempat maksiat itu. Salah satu rekan kerjaku bernama Pak Aditya terlihat masuk ke tempat itu. Aku yang melihat hal itu hanya bisa menggelengkan kepala tak menyangka.
Apa dia tidak memikirkan istri dan anaknya di rumah? Pasti istrinya sungguh tersiksa jikalau melihat secara langsung ulah bejat suaminya itu.

"Sungguh, tempat menjijikkan. Apa tidak ada tempat yang lebih bagus ketimbang tempat ini?"
Marcello yang ada di sampingku malah hanya terkekeh geli. Aku tahu, dia terbiasa nongkrong di tempat terlarang ini kalau sedang galau.

Sedangkan aku kalau galau pasti ngelendot di pelukan Mama sambil bermanja-manja mencurahkan segenap gunda dalam dada. Maklum, sebelum gak punya gebetan. Dan sekarang aku malu melakukannya.

"Santai, Tuan. Gak bakalan mati juga kalau masuk ke sini."

Kuhela napasku lalu melangkah masuk ke tempat hina itu. Musik DJ menggema dengan bau alkohol menyeruak membuatku sangat muak tetap berada di sini. Banyak pengunjung tempat maksiat ini bersenang-senang dalam surga duniawiyah meraka.
Banyak wanita dan pria tengah berjoget ria di bawah bola kristal yang menggantung di atas mereka berkerlap-kerlip.
Aku memang suka berjoget. Tapi tidak sebar-bar seperti mereka. Paling enak lagu punya Iwan Fals atau Pak Haji Rhoma Irama yang asoy.

TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang