Kuhela napasku kala mendapati pesan singkat dari Marcello memintaku untuk segara ke kantor. Kukantongi ponsel lalu menyambar jas yang tergeletak di sofa lalu melangkah cepat menuruni anak tangga.
Dari sini aku melihat Salsa dan Bara tengah beradu mulut. Dasar kucing. Rebutan ikan asin mulu. Padahal ikan yang gak asin masih banyak.
"Sayang, ikut aku, yuk?"Dia menghentikan aksi debat capresnya lalu menoleh kearahku. Alisnya naik sebelah lalu detik berikutnya tawa menggema membuatku menaikan alis. Bukan hanya Salsa saja. Melainkan Bara pun ikut menertawakanku.
"Kenapa?" tanyaku keheranan.
"Kau mau mengajakku dengan masih memakai handuk? Yang benar saja, Sayang?"
Aku menuduk. Dan wabizau! OMG hellow ... mengapa aku sampai seceriboh ini? Berbalik lalu melangkah cepat sambil memegang handuk yang membelit bagian pusarku.
***
Sapaan para karyawanku berikan. Aku hanya memasang senyum sesekali mengangguk membalas sapaan mereka.
"Tuan Deva."
Langkahku terhenti ketika ia berdiri tepat di depanku tidak sendiri. Dia berdiri bersisian dengan pria itu tersenyum padaku.
Kugenggam erat tangan Salsa membuatnya menoleh padaku. Kutarik seluas senyum di bibirku. Sebenarnya saat ini aku ingin berteriak. Namun itu sama sekali tidak mendukung apapun."Bagaimana keadaan anak Anda, Tuan Mahardhika?" tanyaku beramah tamah.
Beliau melangkah maju ke depan lalu menarik tubuhku mendekapku membuat tubuhku menegang. Genggaman di tanganku terlepas. Aku menoleh ke arah Salsa. Dia menganggukan kepalanya sembari tersenyum kecil.
Isak tangis terdengar membuat dadaku sesak.Bukan emosi yang kurasa. Namun kesakitan karena mendengar pria itu menangis di pelukanku. Kedua tanganku mengepal erat meredam kemarahan yang menumpuk dalam dada.
"Dia sudah meninggal, Tuan."
Kepalanku melemah. Mengapa kau harus menangis hanya karena anakmu itu, Tuan? Mengapa tidak ketika aku dan Mama kau perlakukan seperti binatang? Mengapa kau tidak menangis disaat Mama melarikan diri membawaku dan Sabrina tanpa membawa Ricky? Adikku.
Kudorong pelan tubuh pria itu menjauh dariku. Napasku memburu ketika kelebatan itu terus bergulir di kepalaku.
Pria itu dengan cepat menghapus air matanya lalu tersenyum kecil. "Maaf, saya terbawa suasana."
Aku mengangguk. "Kalau boleh tau, siapa nama anak Anda itu.""Rayhan."
Kuhela napasku lalu membuangnya kasar. Lalu, di mana Ricky? Apakah dia masih hidup? Kalau iya, bagaimana rupanya? Apakah dia mirip denganku? Apakah dia lebih tinggi dan tampan dari pada aku?
Dengan berhati-hati aku bertanya padanya. "Em, kalau boleh tau, berapa anak Anda?""Saya menikah dua kali. Dipernikahan pertama saya, saya dikaruniani tiga orang anak. Satu perempuan dua laki-laki. Dipernikahan kedua saya dikaruniai anak hanya satu."
Pria itu menghentikan ucapannya. Lalu berkata lagi.
"Yang pertama namanya Raka Mahardhika Sanjaya. Kedua namanya Ricky Mahardika Sanjaya. Yang ketiga namanya Sabrina Alisya Ramadhani, yang keempat namanya Rayhan Mahardhika Sanjaya.""Dan setalah saya bercerai dengan istri pertama saya dan menikah dengan istri kedua saya, saya tidak pernah tau, dimana mereka berada. Apakah mereka masih hidup atau tidak," katanya.
Dan salah satu dari anakmu tepat berdiri di depanmu, Tuan Mahardhika.
***
Kupandangi potret yang usang itu dengan penuh tanya. Di mana Ricky berada. Pria itu sama sekali tidak menceritakan tentang keadaan Ricky, adikku itu. Apakah dia masih hidup ataukah sudah mati seperti Sabrina?
KAMU SEDANG MEMBACA
TENDER BERHADIAH ISTRI💕 [Terbit]
HumorDeva Mahendra Wijaya, CEO muda perusahaan Deva's Grup harus menikahi seorang wanita bernama Salsabila demi menyelamatkan perusahaanya dan mendapatkan sebuah tender. Laka-liku petualang di mulai ketika masalah datang. "Apa kau ingin tetap mengikuti...