[19] salah siapa

923 204 18
                                    

Puasa sudah mencapai hari ke sembilan belas. Sudah terlewat setengah bulan, bahkan sudah hampir berada di akhir. Tidak terasa, ya? Dan seharusnya semua orang kini menjalaninya dengan hati yang bersih, dan masih dibarengi dengan amal dan semangat yang masih berapi-api.

Disaat orang lain sibuk memperbanyak amal, bersholawat disela-sela waktu, menahan nafsu, begitu juga Seungwoo, yang harus menahan nafsu amarahnya sejak kemarin, saat Hitomi, Yena dan Junho datang memghampirinya, sekeluarnya Seungwoo dari konsultasi pra nikahnya bersama Pak Seokhoon. Ketiganya datang dengan takut-takut, menundukkan kepalanya, lalu berkata, "Maaf," secara serempak.

Dan sejak Seungwoo diseret paksa dalam keadaan yang tidak tau apa-apa ke dalam ruang kerja Pak Anjaya, Hitomi, Yena dan Junho cuma bisa ngintip-ngintip tipis lewat sela-sela jendela yang tidak tertutup tirai dari dalam. Sekalian nguping tipis-tipis.

Lagi-lagi Pak Anjaya.

Hitomi dan Junho yang baru keluar dari kelas Bahasa Arab yang diajar Bu Cheetah, dan Yena yang juga baru selesai kelas Aqidah Akhlak dengan Pak Seunggi, langsung berkumpul, menunggu Seungwoo di depan ruangan Pak Seokhoon.

Bahkan saat diteriaki teman-temannya yang lain, kenapa Hitomi, Junho sama Yena langsung ngibrit gak tau ke mana setelah selesai kelas, ketiganya tak menjawab.

Sebenarnya, tanpa dibicarakan pun, mereka sudah mengetahui apa salahnya. Sebuah surat peringatan yang dilayangkan untuk ketiganya, tapi pada akhirnya Seungwoo lagi yang harus maju menjadi tameng.

"Gara-gara lo, nih, Kak." Tunjuk Junho pada Yena yang sedari tadi berdiri di sampingnya.

Yena cuma melirik malas, "Gue lagi, kan, gue lagi, kan."

"Terus menurut lo gue harus nyalahin siapa? Nyalahin Kak Hitomi?"

Dan Hitomi yang dari tadi cuma diam sambil mendekap erat buku catatannya dan memandang cemas arah pintu ruang kerja Pak Anjaya.

"Lagian ya kita tuh gak salah, emang Pak Anjaya aja yang sentimen sama gue."

"Dih, ya emang lo yang cari masalah mulu, gikana Pak Anjaya gak makin sentimen sama lo, Kak." Rasa-rasanya kekesalan Junho makin memuncak, "Segala pake menyangkut pautnya nama gue sama Kak Hitomi lagi, padahal juga kerjaan lo sendiri."

"Ini ya gue bilangin," Yena mendudukkan diri di bangku panjang yang diletalkan di depan ruangan, "Itu kotak saran di depan ruang pengurus menurut lo buat apa kalo gak buat menyuarakan keresahan para santri?"

Sekali lagi Junho menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya perlahan. Mencoba untuk menenangkan diri.

"Iya adanya kotak saran itu maksudnya, kan, menerima surat, apa keluhan lo terus masukin ke kotak, udah selesai gitu aja Kak Yena."

"Ya emang gitu-"

"Bukannya malah suratnya lo fotokopi terus lo tempel di semua dinding koridor Sobat Gurun Village, Kak.."

Ini kalau Junho sudah habis kesabaran, Yena bakal Junho paksa buat kerudungan pake handuk terus jongkok keliling lapangan saat itu juga. Sudah tau salah, tapi masih ngeyel.

"Iya, gue kesel, sih, sama Pak Anjaya. Jaket gue belom ada seminggu gue pake, eh udah disita coba." Balas Yena kemudian.

Memang semua berawal dari tiga hari yang lalu. Hari itu Yena tidak menyebabkan masalah apapun. Bahkan Yena menyempatkan diri untuk sholat dhuha dan membaca Al-Qur'an sebelum kelas dimulai. Semua juga heran, Yena yang biasanya datang kelas barengan sama pengajar, bisa bangun sepagi itu.

Tapi, cuma gara-gara Yena yang berkeliaran di Sobat Gurun Villahe dengan memakai jaket, Yena dan Pak Anjaya harus main kejar-kejaran sampai keliling Sobat Gurun Village dua kali. Capek banget gak tuh..

Sampai Yena harus menghindar dan menyembunyikan diri di bawah meja lapak dagang jamunya Mbak. Tapi, gak tau gimana caranya, Yena yang sudah menyembunyikan diri sedemikian rupa, sampai menutup tubuh dengan kain gendongan jamu yang biasanya dipakai buat dagang keliling, tetap saja ketahuan.

Dan jaket yang baru berusia satu hari itu, harus rela diserahkan kepada si menyebalkan berkacamata itu.

Ini sepertinya peraturan yang cuma ada di Sobat Gurun Village, dan cuma Pak Anjaya sendiri yang menerapkannya. Mana ada, sih, larangan untuk santri memakai jaket? Aneh. Kan, sama sekali tidak masuk akal. Apa juga hubungannya pakai jekat dengan tingkat prestasi?

Seperti makan ikan bakar terus disiram sama sirup cocopandan. Gak nyambung!

Tapi, itu belum ada apa-apanya. Mungkin Yena sudah terbiasa dengan segala macam hukuman yang diberikan, mulai dari nyabutin rumput di lapangan, sampai mengepel gedung olah raga seorang diri.

Yang membuat Yena tidak terima dengan hukumannya saat ini adalah, ketika si anak emasnya Pak Anjaya, anak dengan latar belakang orang tua konglomerat, berkeliaran dengan menggunakan sandal jepit. Sandal jepit loh, sekali lagi SANDAL JEPIT! Kan, itu malah lebih gak sopan.

Tapi, Pak Anjaya membiarkannya, dengan alasan sepatuya basah terkena hujan. Padahal kemarin itu satu kota lagi panas-panasnya. Kering kerontang. Itu basah kena hujan, apa habis nyemplung ke got, sih?

Hanya karena satu siswa dengan orang tua penyumbang dana paling banyak, jadi dia punya privillage untuk diistimewakan, begitu?

Iya, karena semua itu Yena jadi semakin kesal, dan akhinya menulis surat keluhan tanpa berpikir panjang.

Tapi, Yena yang kalau sudah muncul bandelnya, emang kadang suka gak ngotak. Bukannya berhenti setelah suratnya dimasukkan ke dalam kotak surat. Tapi, salinan suratnya malah difotokopi dan disebar, ditempel di setiap sisi bagian koridor sekolah, bahkan di kantin dan kamar mandi.

Parahnya lagi, Yena pakai bawa-bawa nama Junho dan Hitomi. Seakan-akan mereka merencanakan ini bersama. Padahal, tau masalahnya saja tidak.

Pada akhirnya, mereka semua berada di sini. Di depan pintu ruang kerja Pak Anjaya, menunggu Seungwoo yang bertugas menjadi wali selama sebulan mereka di sini, keluar dari dalam sana.

"Pak Bos, gimana?" Tanya Yena takut-takut saat Seungwoo baru keluar dari dalam ruangan.

Seungwoo mau marah, tapi ya gimana, setelah mengetahui apa yang dilakukan Yena, rasanya juga mau ketawa.

"Udah balik, bentar lagi ada kelas lagi, kan?" Ucap Seungwoo sambil tersenyum tipis.

Menjadi pemimpin memang begini tugasnya, kan? Selalu menjadi penanggung jawab untuk setiap anggotanya.

Berat memang, apalagi kalau anggotanya semacam semua anggota inti Remaja Masjid Brokoli Ijo ini, jangankan cuma kenakalan kecil, hal-hal di luar pemikiran normal manusia pun rasa-rasanya akan mungkin dilakukan.

Punya anggota kok gini banget, Ya Tuhan..




remaja masjid

remaja masjid 3― x1 ; izone ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang