Flower 2

408 65 45
                                    

Pagi menjelang walau gelap masih terlihat. Bukan karena langit yang masih malam, bukan karena pagi yang dimaksud adalah dini hari saat bulan masih sebagai penerang, namun karena mendung yang begitu pekat menyelimuti sang mentari hingga tidak bisa memberi sinar cerahnya pada dunia.

Begitu gelap dan juga dingin benar terasa membuat Luhan kecil menggigil dengan bibir yang mulai membiru.

Awalnya, bukan karena mendung, namun karena sakit yang Luhan rasakan di sekitar perutnya dan membuatnya mencengkeram bagian itu. Sungguh sakit hingga isakan pun mulai terdengar. Lirih terdengar ditambah gemuruh langit yang bersahutan.

Tidak ada yang bisa dipanggilnya. Nama siapapun, panggilan siapapun, Luhan tidak tahu itu. Memanggil ibu, entahlah, Luhan tidak pernah merasakan memiliki seorang ibu ataupun ayah. Luhan tidak tahu, hingga bibirnya hanya merintih dan merintih dengan bulir keringat yang terus bermunculan.

Dipanggil pun tidak ada, begitu juga dengan yang menghampiri. Banyak orang yang berjalan, namun tidak ada satu pun yang menghampirinya, hanya sekedar pura-pura peduli pun tidak ada. Kembali lagi Luhan mengingat perkataan wanita paruh baya yang sempat memberikannya seteguk air.

Dunia memang kejam. Peduli satu sama lain hanyalah bualan semata. Bahkan tidak ada yang peduli dengan tulus, tentu mungkin itu berlaku padanya karena dirinya tidak mengenal siapapun. Benar-benar sendiri.

Bunga itu tumbuh sendiri dan tidak ada yang peduli. Walau tetap tumbuh, walau mekar dengan sempurna, namun tidak ada yang melirik, seolah percuma. Tidak ada yang peduli hingga berangsur-angsur melayu dan mati.

"Kau baik-baik saja?" Namun saat telinganya dengan jelas mendengar pertanyaan itu, bibirnya sudah tidak mampu berbicara dengan jelas. Bahkan matanya pun tidak dapat menangkap objek yang di depannya. Luhan tidak tahu harus menjawab dengan cara apa. Tubuhnya pun sudah mati rasa.

Saat dirinya sudah tidak bisa menjawab, dirinya merasakan tubuhnya terangkat dan kemudian saat itu kesadarannya habis sudah. Hanya gelap yang ia lihat dan setelah itu Luhan tidak tahu lagi apa yang terjadi padanya.

Sementara pria itu, pria yang menolong Luhan pun menggendongnya dan membawanya masuk. Menyalakan penghangat ruangan dan menyalakan tiap lampu toko.

Sudah kesekian kalinya pria itu merapalkan kalimat syukurnya. Bersyukur bahwa dirinyalah yang menemukan anak kecil itu. Bersyukur dirinya sengaja datang lebih awal. Tentunya bersyukur Tuhan masih mengizinkannya untuk bertemu lagi di luar garis takdirnya.

Bahkan saat hujan turun setelah Luhan dibawa masuk, pria itu tetap bersyukur bahwa sang dewa hujan, bahwa Indra* masih berbelas kasih pada anak kecil rapuh itu. Indra masih peduli dengan bunga yang sudah rapuh.

"Kesekian kalinya dan tidak ada yang berubah. Aku berharap kau hidup dengan layak, tapi itu seolah mustahil" membersihkan tubuh itu dengan air hangat yang sebelumnya tentu ia persiapkan sendiri.

Membersihkan tiap bagian hingga tiba saatnya tangan itu membuka pakaian lusuh yang dikenakan Luhan. Saat terbuka, betapa terkejutnya dirinya melihat tubuh Luhan penuh dengan biru di sana. Bunganya terluka kini.

Langkah cepatnya pun terjadi dan langsung menuju penyimpanan obat. Kembali dengan cepat dan mengobati luka Luhan. Memar hingga membiru. Kulit putih itu tertutup biru dan raut khawatir serta sedihnya jelas terlihat di sana.

"Bolehkah aku melewati garis takdir yang dibuat? Bolehkah aku membantunya untuk sekali dan kesekian kalinya?" Meringis saat mengobati luka itu. Bahkan sedih cukup melandanya saat melihat Luhan yang mulai gelisah dengan bibir yang terlihat bergetar.

"Oh Tuhan, aku mohon lindungi dia. Aku...kali ini aku tidak akan melawan takdirmu. Aku mohon padamu, Tuhan" harapannya mungkin begitu sulit untuk dikabulkan, namun tetap saja, dirinya haruslah selalu berharap. Bukan berharap untuk dirinya sendiri, tapi untuk Luhan, bunganya yang selalu rapuh, bunganya yang selalu pergi menahului.

綺麗な花 (Kirei na Hana) [HunHan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang