18. RENCANA PERCERAIAN

3.1K 99 4
                                    

"Saya hamil, Mr. Malik," Netta mencegat Stefano suatu petang.
"Kau tak pernah tidur dengan Chiko?"
"Hanya setiap akhir pekan."
"Mungkin saja itu anaknya."
"Tapi saya yakin ini anak anda, Mr. Malik."
"Apa maumu, Netta? Minta aku menikahimu? Bukankah besok kau akan pulang ke rumah ibumu, dua hari lagi menikah dengan Chiko."
"Ya," pelayan itu menunduk, "but I prefer to be your mistress."
"No way I have a mistress!" Stefano menyipitkan matanya, "I know what you want."
Ia menarik Netta ke kamarnya, menggagahinya.

Pamela tergopoh-gopoh melapor ke Lita. Perempuan itu pindah ke kursi roda membawa HP, ia siap menghadapi suaminya.
Pengasuh putrinya membantunya membuka pintu, dan ia mengabadikan adegan itu, sepasang manusia telanjang sedang bersetubuh.
"LITA!"
"Nyonya!"
Keduanya kaget dan melepaskan diri.
"Teruskan saja, tidak masalah."

Kembali ke kamarnya, Lita menelpon 911, minta ambulans datang, ia merasakan kontraksi.
Stefano termangu-mangu menghadapi kopinya di meja makan, tak berusaha meminta maaf, ia bisa membaca gelagatnya, istrinya bisa meledak bila ia mendekat.
Lelaki itu kaget ada ambulans datang menjemput Lita.

"Sayang, ada apa? Mengapa harus ke rumah sakit?" tanyanya kuatir.
Lita tidak menjawab, hanya meringis kesakitan. Stefano masih sempat meraih HP, tanpa berganti pakaian ikut naik ke dalam ambulans.
"Rumah sakit mana?"
Lita menyebutkan rumah sakit lain.
"Sayang, dr. Merrick tidak praktek di situ."
"Kau mau cari kesempatan tidur dengan dr. Merrick lagi?" komentar istrinya ketus.

Stefano mengikuti paramedis mendorong brankart masuk sampai ke pintu ruang operasi.
"Ruang Operasi?" pikirnya panik, "ada apa?"
Tak ada tenaga medis di sekitarnya, tak tahu harus bertanya kepada siapa, ia berjalan mondar-mandir dengan resah.
Agak lama kemudian, tapi bagi Stefano terasa sehari semalam, seorang dokter keluar.
"Keluarga Mrs. Malik."
"Ya, dok. Saya suaminya." Cepat ia mendekat.
"Selamat, anak anda laki-laki, tapi karena lahir prematur, harus masuk inkubator."
"Bagaimana istri saya dokter?"
"Berhasil melahirkan normal, tapi karena pendarahan, ia tak sadarkan diri, dan akan kami pindahkan ke ICU."
"Bolehkah saya menemuinya, dokter?"
"Nanti, di ICU."

Lita terbaring pucat dengan mata tertutup, napasnya teratur. Stefano menciumi tangan yang bebas dari jarum infus.
"Sayang, ini karena aku, kan? Ampuni aku, cepatlah bangun, and we start it all over again. Gimme a second chance, will you? I beg you, sweetheart."
"Anak kita laki-laki, aku belum melihatnya, ia masuk inkubator."
"Terima kasih telah melahirkan sepasang anak untukku."

Seorang paramedis mencolek bahu Stefano memberi tanda untuk keluar sambil menunjuk monitor, irama detak jantung Lita tak beraturan.
Di luar ruang ICU ia bertemu dengan adiknya.
"Siapa yang memberitahumu?" tanyanya tak senang.
"Lita sempat menelpon sebelum tak sadarkan diri. Kau sudah memberi nama anakmu?"
Stefano menggeleng, wajahnya muram.
"Istrimu sempat menyebut nama Roger."
"And Roger he will be."

"Aku membawakanmu sandwich. Makanlah."
Seperti mayat hidup Stefano makan tanpa ekspresi.
"Pulanglah, kau butuh istirahat. Besok bisa ke sini lagi."
"Aku ingin ada di sini saat ia siuman."
Lelaki itu membaringkan diri di kursi panjang, tak lama kemudian ia terlelap.

Seorang perawat melongokkan kepala keluar pintu, "tidur?" tanyanya menunjuk Stefano.
Nick mengangguk, dan ia melambai memberi tanda mendekat, mengajaknya masuk menemui Lita.
"Mrs. Malik, suami anda tidur di ruang tunggu, saya mengajak seorang yang lain. Siapa nama anda, sir?"
"Nicholas."
"Nick! Gimme a hug." Lita membuka mata dan tersenyum bahagia.
Nick memeluknya dan mencium pipinya.
"Aku akan berpura-pura koma selama seminggu, ingin tahu bagaimana reaksinya. Yang tahu hanya kau. Jangan katakan apapun saat memberitahu orang tuamu dan orang tuaku besok."

Selama seminggu itu Stefano tidak mau beranjak dari depan ICU. Nick yang mengirim makanan dan membawakan pakaian ganti. Dua kali sehari ia menemui istrinya pada jam bezoek, dan setiap kali disuruh keluar karena membuat detak jantung istrinya tak beraturan.
Seminggu kemudian ia panik Lita tak ada di ICU, sudah dipindahkan ke bangsal perawatan.

Lita tersenyum melihat Stefano berewokan, Nick sudah memberitahunya suaminya tak bercukur.
"Sayang, kau membuatku cemas," ia menciumi tangannya, ingin mencium bibirnya tapi tak berani, "aku kuatir kau tak pernah bangun lagi."
"Pulanglah. Jemput aku besok."
"Sudah boleh pulang? Secepat itu?"
"Kau ingin aku lebih lama di sini? Supaya kau bebas meniduri setiap pelayan?"
"Sayang, seminggu ini aku tak pernah beranjak dari rumah sakit."
"Dokter mana yang kaugagahi?"
"Aku bahkan tak beranjak dari ruang tunggu ICU."
"Pulanglah."

Stefano menelpon Rocky, minta dijemput. Sampai di rumah langsung masuk ke kamar, mengunci pintunya, tidur.

"Ini Stefano?" tanya Gladys sejam kemudian, tak percaya menatap foto di HP Rocky.
"Believe it or not." Sopir itu tertawa, ia memotret diam-diam, merasa lucu majikannya yang selalu penuh percaya diri bisa terpuruk seperti itu.
"Apa yang terjadi?"
"Mrs. Malik koma seminggu, setelah melahirkan anak kedua."
Gladys sama takjubnya dengan Rocky.

"Pa, jangan ke rumah sakit. Sebentar lagi Stefano menjemputku check out. Kalau mau ketemu, di rumah saja."
Namun sekretaris Stefano menelpon.
"Maaf, Mrs. Malik, saya mengganggu. Saya sudah mendelegasikan pekerjaan Mr. Stefano selama seminggu ini, tapi yang siang ini, meeting sangat penting, harus dihadirinya sendiri."
"Mengapa tidak menelponnya langsung?"
"Seminggu ini ponselnya off."
Lita melihatnya masuk ke ruangannya, "jam berapa meetingnya?"
"Tiga jam lagi."
"OK, ia pasti hadir."

Melihatnya sudah tampil rapi lagi, Lita tersenyum melambai.
"Sekretarismu menelpon, ada meeting penting yang membutuhkan kehadiranmu. Pergilah ke kantor, kita bertemu di rumah nanti malam."
"Tapi ...."
"Aku bisa mengurusnya."
"Nick?"
"Pergilah."
Ragu-ragu Stefano pergi, tak rela, tapi ia sangat mengerti pentingnya meeting itu.

"Nick? Bisa urus aku keluar rumah sakit?"

Sekali lagi Nick menggendong Lita dari mobil ke kamar. Ranjangnya kembali ranjang besar lagi, ia sudah menelpon Pamela menyuruhnya mengatur itu.
"Apa hadiahku?" tanya Nick menendang pintu menutup, membaringkannya.
Lita menarik tubuh adik iparnya, Nick jatuh menindihnya.
"Nakal," bisiknya mencium bibir perempuan yang dicintainya.
"Kapan terakhir menemui dr. Merrick?" Lita membelainya.
"Tak pernah lagi sejak kauberi jatah setiap siang di sini."
"Kunci pintunya."

Waktu Nick membalikkan badan lagi, kakak iparnya telah melepaskan semua pakaiannya, melambai kepadanya.
"Ayo, ambil hadiahmu."
Ucapan itu membangkitkan gairahnya, saat ia telanjang merangkak naik ke ranjang, pusakanya telah siaga penuh.

"Ouw maaf," Nick tak sempat menarik diri.
Terlanjur menyemburkan semua muatannya, ia membiarkan dirinya di dalam, terkapar menindih Lita.
"Tak apa."
"Kalau hamil?"
"Aku sudah suntik KB."
"Eh, kok gak ada masa nifas?"
"Aku kan pendarahan, dikuret, langsung bersih. Ada vlek satu dua hari sih."
"Hmmm ...."
"Lebih sempit dr. Merrick ya? Dia kan belum pernah melahirkan."
"Carmelita, I am making love to you, enjoying every second of it. Jangan bandingkan dengan seorang fuckbuddy, itu hanya pelampiasan."

Surabaya, 13 Mei 2020
#NWR

CARMELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang