6. PULANG

6.2K 140 0
                                    

"Mr. Malik!" Lita kaget, "saya pikir anda akan semalam suntuk dengan Miss Gladys."
"Dan kau mau semalam suntuk dengan Nicholas?"
"Tidak, kami cuma makan malam bersama."
Stefano mendekat, mencium bibirnya.
"Aku tidak suka kau berdekatan dengan lelaki lain."
Tangannya meremas pinggang gadis itu, merambah naik, melepaskan roknya.
"Mr. Malik!"
Lita menolaknya, memakai roknya kembali.
"Anda punya Gladys untuk urusan sex, saya cuma pelayan, bukan pelacur."

Stefano menciumnya lagi.
"Tidak biasanya kau minum minuman keras."
"Ada yang dirayakan, saya akan mendapat paspor saya kembali, saya bisa pulang ke Indonesia."
"Memangnya selama ini paspormu dimana?"
Lita mengulang cerita yang sama dengan yang diceritakannya kepada Nick.
"Bagaimana Lisa Mae bisa mendapatkan paspormu?"
"Ia bekerja di penghubung saya."
"Hmmm ... aneh! Chiko tidak cuti."
Stefano curiga.

"Kemasi semua barangmu, mereka akan menemukanmu besok pagi. Kita akan pergi malam ini."
"Kok bisa?"
"Chiko tidak cuti, mereka akan menguntitnya dan menemukanmu."

"Mama ...." Lita menelpon ke rumah Chiko.
"Bisa bicara dengan Lisa Mae?"
"Lita," ibu Chiko gembira mendengar suaranya, "Lisa Mae tidak pulang, sekarang ia tidur di rumah majikannya. Pulangnya sebulan sekali."
Lalu bagaimana ia memberikan paspor ke Chiko?

Stefano menelpon anak buahnya, memastikan Chiko sudah meninggalkan mansion. Rocky mengantar mereka ke bandara.

"Kemana kita?"
"Aku akan mengantarmu ke Indonesia."
"Aku tak punya paspor."
"Kita ke Kedubes di Washington DC. Kau punya foto paspormu dari Lisa Mae, lebih mudah."

Pagi mereka sudah di Kedubes, Stefano mengenal beberapa orang staf di sana, Lita dibuatkan surat keterangan pengganti paspor yang biasanya dibuat untuk WNI yang dideportasi.
Sore mereka naik jet sewaan ke Honolulu, dari situ mereka akan ke Jakarta lewat Hongkong.

Di ruang tunggu bandara Hongkong, Lita meninggalkan jejak, ia memindahkan semua uang di rekening gajinya ke rekening di bank Inggris.
Van der Brink punya cakar di Amerika, Lita yakin butuh waktu agak lama untuk melacaknya di Hongkong.

*

Lita baru bisa menarik napas lega saat kakinya menginjak bandara Sukarno Hatta.

Ibunya kaget melihatnya datang tanpa kabar. Ia menceritakan rencana ibu tirinya dan pelariannya.
"Ma, ini Mr. Stefano Malik."
"I am her boyfriend."
"Mr. Malik!"
"She's had a boyfriend already," kata Kartika Sanjaya, tidak senang. Ia merasa Lita cocok dengan Suwandi, lelaki asing ini mencurigakan.

Lita meminta ibunya membeli simcard baru untuk menghubunginya, ia yakin telpon rumah dan ponselnya disadap.

Kartika menolak Stefano menginap di rumahnya.
"Ia bisa menginap di hotel."
"Mama kok gitu sih?"
Lita mengantar Stefano ke hotel.

"Lita, kau tidak pulang?"
"Aku mengantar Stefano ke hotel, Ma, tidak bisa pulang. Aku mau menemaninya."

Besoknya mereka ke kantor imigrasi mengurus paspor baru.
Jet lag, malam hari mereka capai tapi tak bisa tidur, jam tubuh mereka masih waktu Amerika, siang hari.
Stefano mengeluarkan dua laptop, menyuruh Lita membalas email-email yang masuk, ia berkoordinasi dengan stafnya, mengurus pekerjaan jarak jauh.
"Anda dimana, Mr. Malik?" tanya Lucille, "Mr. Malik Sr. mencari anda, ada urusan penting, katanya."
"Kalau penting, ia akan menelpon ponselku," kata Stefano, memeriksa ponselnya, ternyata ada sepuluh panggilan tak terjawab.
"OK, Lucille, aku akan menelpon ayahku."

"Dimana kau? Rapat pemegang saham dua minggu lagi, aku butuh kehadiranmu supaya aku tetap menjadi CEO."
"Aku akan datang, Pa."
"Kau tahu, 35% saham Malik Enterprise kita dipegang Samuel Van der Brink, kita butuh kerjasamanya."
"Maksudnya?"
"Itu akan lebih mudah bila kau menikahi putrinya."
"Papa! Aku sudah menemukan gadis impianku."
"Kau bisa tetap berhubungan dengannya backstreet, tapi istri resmimu tetap putri Van der Brink."
"Bukankah putrinya minggat?"
"Mereka menemukan jejaknya di Hongkong, tak lama lagi pasti bisa membawanya pulang. Walaupun putrinya belum ketemu, kita akan makan malam bersama sebelum rapat pemegang saham itu. Segeralah pulang."
"Mengapa harus aku, kan bisa Nicholas."
"Kau kan tahu, adikmu itu anak haramku, aku tak pernah menikah resmi dengan ibunya. Tak mungkin aku menawarkannya untuk urusan remi seperti ini. Van der Brink akan merasa terhina."
"OK Papa, aku akan pulang sepuluh hari lagi."
"Bagus! Aku tahu aku bisa mengandalkanmu, anakku."

*

Besoknya mereka mengambil paspor Lita, lalu ke Surabaya dengan sleeper bus, menginap semalam.
"Satu kamar atau dua?" tanya Stefano menyeringai.
"Satu saja."
"Kau tidak takut?"
"Kemarin di Jakarta kan kita sekamar?"
"Kemarin masih jet lag, libido terhambat."
"Kan kita sudah pernah seranjang, dan kau bisa menahan diri."
"Di sana, kalau tidak tahan kan ada Gladys, di sini ...?"

Lewat tengah malam Lita terjaga, merasakan geli-geli nikmat di area intimnya. Membuka mata menyadari dirinya telanjang, Stefano sedang menjilatnya. Lidahnya menggoda liang kenikmatannya, berusaha masuk lebih jauh.

"Mr. Malik, apa yang kaulakukan?"
"Kita sudah seintim ini, dan kau masih memanggilku Mr. Malik? Panggil namaku, Stefano."
Lita menggelinjang, berteriak-teriak memanggil namanya, menyuruhnya berhenti.
"Enak?" Stefano tersenyum mengejek, "itu lidah, bukan ...."
Lita menutup kedua telinganya, "jangan membuatku menginginkannya."
"Itu tujuanku. Aku menginginkanmu, Carmelita." Stefano memeluknya, menggigil menahan nafsunya.
"Mau aku panggilkan perempuan bayaran?"
"Aku mau kamu, bukan yang lain."

"Ini saja," Lita memberikan alat bantu sex, vagina dari karet.
"Maksudmu?"
"Kau boleh menggumuliku, tapi masukkan ke sini, bukan ke tubuhku."
Stefano tertawa, sepertinya itu pilihan terbaik.
Ia meletakkannya di pangkal paha Lita, tidak persis seperti aslinya, tapi cukup untuk membuatnya merasa telah meniduri Carmelita.

*

"Carmelita! Dimana kau?" Greta, ibu tirinya, menelpon.
"Masih di Bumi, Mama," Lita tertawa.
"Aku akan menemukanmu, Jakarta tidak seberapa luas."
Mereka telah melacak sampai ke ibukota, tapi Lita tenang Greta tidak akan menemukan namanya di penerbangan manapun dari Jakarta.

Hari berikutnya mereka naik kereta api ke Banyuwangi, rencananya ke Bali, tapi ada informasi resort hotel dekat situ. Mereka menginap dua malam di Watulangit.

Ada bak jaccusi di kamar, mereka berendam berdua, saling mengelus dan meraba.
Lita sudah terbiasa melihat dan memegang pusaka Stefano, dalam hatinya ada keinginan merasakan benda itu mengisi ceruk tubuhnya. Ia merasa telah jatuh cinta kepada majikannya, dan tak keberatan menyerahkan keperawanannya, tapi gengsi dong kalau ia yang meminta?

Lita mengelusnya, merasakannya mekar di genggamannya. Stefano mengerang, ia membalas, jemarinya mengelus kelentit gadis itu, menggoda mulut liangnya.
Ia menggendongnya keluar bak jaccusi, mengeringkan tubuh dengan handuk, membaringkan di ranjang, dan menindihnya.
Lita membuka kakinya, Stefano mengulum putingnya, posisinya persis di tengah kedua kaki gadis itu. Ujungnya menyentuh mulut liangnya, ada cairan keluar dan ia tergelincir masuk. Gadis itu tidak mengelak, malah mengangkat pinggulnya menyambut.
Stefano mata gelap, ia mendesak masuk dengan susah payah, lorong itu terlalu sempit untuknya.
"Auwww ...." Lita menjerit kesakitan ketika ia menerobos penghalang di dalam liang kenikmatannya. Refleks ia menarik diri, ada darah menetes.
"Maafkan aku," ia memeluknya penuh penyesalan.

Surabaya, 9 Mei 2020
#NWR

CARMELITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang