Aku tak pernah takut dengan ancaman apapun. Satu yang paling aku takutkan, kamu menderita.
Nendra•
•Nendra tidak tahu, apa membawa Arkan pergi adalah keputusan terbaik. Kemungkinanya memang ada dua, saat polisi menemukan mereka nanti. Pertama, Arkan akan ikut terlibat dalam masalah. Atau kedua, Arkan akan selamat karena tuduhan penculikan yang terbukti jelas saat Arkan bersamanya.
Kini, yang Nendra pikirkan hanya bagaimana dia pergi. Bagaimana dia kembali membawa Arkan, tanpa terpikir mengembalikan pada Ayah atau Tante Renata. Dia kira, Arkan akan baik-baik saja saat ada Ayah. Tapi ternyata, ada luka batin yang tetap di terima adiknya.
Katakan saja Nendra ikhlas, bila polisi menemukan dia bersama Arkan. Setidaknya dia bisa memastikan Arkan baik-baik saja saat bersamanya. Nendra hanya perlu belas kasihan Ayah setelah ini. Ingin Ayah ingat bahwa dia juga anaknya. Dia juga Kakak dari Arkan. Dan dia tidak mungkin melakukan hal sekeji itu pada adiknya sendiri. Apa Ayah kira, setelah bertahun-tahun hidup di jalan, hati nuraninya terkikis?
"Kak, maaf." Suara Arkan membuat Nendra terhenti. Menengok kebelakang, karena adiknya berada beberapa langkah di belakangnya.
"Buat apa?" Senyum Nendra seharusnya menjadi penyemangat Arkan. Namun kini yang Arkan rasakan adalah sebaliknya. Senyum Nendra membuat dia semakin rapuh.
"Gue bodoh! Harusnya gue bisa jelasin ke Papa. Harusnya gue nggak biarin Papa terhasut sama ucapan Tante Renata. Tapi gue takut, Kak. Sumpah! Tante Renata ngancem gue. Dia itu jahat, dia bisa bunuh gue tanpa ketahuan Papa. Gue mau bilang ke Papa, tapi gue takut kalau sampai Tante Renata tahu gue ngadu, gue akan mati di tangan dia. Padahal gue punya kesempatan buat ngomong itu, tapi gue sia-siain cuma karena gue yakin Papa nggak akan dengerin gue." Air mata Arkan kembali jatuh. Takut sekali rasanya. Lebih dari itu, dia merasa bersalah, merasa menyesal karena tidak bisa menyelamatkan kakaknya.
"Kak, lo tahu Papa gimana, kan? Dia nggak akan dengerin gue, kalau dia udah terhasut lebih dulu sama orang lain. Dan gue takut, kalau Papa menganggap apa yang gue bilang itu omong kosong, Tante Renata bisa berbuat lebih karena merasa gue fitnah. Lo ngerti kan maksud gue, Kak? Gue takut banget."
Nendra maju, kembali menarik Arkan dalam peluknya. Dia paham walau Arkan mengatakan dengan bahasa yang dia ulang-ulang. Nendra mengerti ketakutan adiknya.
"Gue ngerti. Gue nggak apa-apa, sekalipun gue dituduh nyulik lo. Gue cuma mau lo aman. Nggak apa-apa, nggak usah dipikirin. Kita lewatin sama-sama, ya?"
Arkan mengangguk dalam dekapan Nendra. "Kalau nanti lo ditangkep polisi gimana?"
"Nggak apa-apa. Asal gue bisa bilang sama Ayah buat jaga lo. Karena bukan gue yang akan buat lo celaka, tapi orang yang udah Ayah percaya." Nendra melepas pelukan, mengangkat dagu Arkan agar menatapnya. "Gue nggak takut apapun, yang penting lo baik-baik aja. Gue nggak masalah, apa pun yang terjadi sama gue nanti. Asal gue bisa buat Ayah janji sama gue, untuk nggak ninggalin lo sendiri selama masih ada Tante Renata di sana. Dan gue rela, apa pun tuntutan yang Ayah arahin ke gue. Gue rela."
Arkan menggeleng, lalu kembali tenggelam dalam pelukan Nendra. Dia tidak rela kakaknya di tuntut apapun, walau hanya hukuman ringan. Arkan tahu, Nendra tak akan punya keadilan selama uang papanya masih berkuasa. Nendra tak akan mendapat pembelaan apapun, selama Papa tetap pendirian untuk menjatuhkan hukuman pada kakaknya. Menganggap Tante Renata dengan segala tipu dayanya adalah yang paling benar.
Sedangkan Nendra, tak pernah menyesal bila nanti pertemuan dengan Arkan menimbulkan masalah terbesar dalam hidupnya. Dia tidak pernah menyesal saat takdir mempertemukan mereka, sebelum semesta mengakhiri hidupnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/221358895-288-k750930.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason ✔️
Teen Fiction[Brothership & sick story] "Bila ada yang lebih sakit dari sebuah kebohongan, Nendra yakin itu sebuah penghianatan." Semesta memang tak pernah menjanjikan bahwa hidup bahagia adalah bagian dari takdirnya. Tapi, dia tahu, bagaimana cara mencari baha...