8. Perhatian

4.6K 584 98
                                    

Semesta selalu menitipkan apa yang kita perlukan, bukan apa yang kita inginkan.
Nendra


"Mau ke mana?" Suara Nendra menghentikan langkah Arkan yang sudah mengikuti Endi.

Arkan berbalik, juga dengan Endi yang tahu benar Nendra pasti akan memarahinya karena mengajak Arkan pergi.

"Mau kerja. Masa mau main."

Nendra meletakkan handuk yang digunakan untuk mengeringkan rambutnya tadi. Sebelum berjalan mendekati kedua adiknya.

"Lo pergi aja, hati-hati," ucap Nendra, yang dibalas anggukan oleh Endi. Hingga pandangannya beralih pada Arkan yang tangannya sudah dia tahan. "Mau di sini, atau ikut gue ke bengkel?"

Arkan kira Nendra akan memarahinya lagi. Tapi ternyata, kakaknya masih ingat pembicaraan mereka semalam. Sifat Nendra sepertinya sudah sedikit berubah. Walau tetap dingin dan cuek. Sepertinya bawaan sejak lahir.

"Ikut lo aja." Putus Arkan.

"Tapi yakin udah sembuh? Gue nggak mau lo ada acara pingsan-pingsan lagi! Lo kira gendong lo ke Klinik nggak berat?" Nendra melepas genggaman tangannya pada Arkan.

Sedangkan Arkan kembali tersenyum. Tahu bahwa maksud kakaknya, agar dia tidak membuat khawatir lagi.

"Yakin! Kalau pingsan tinggal aja gue. Nanti gue jalan ke Klinik sendiri."

Nendra seketika menoleh, hanya untuk mendapati cengiran dari adiknya. Sebelum Arkan melangkah lebih dulu keluar meninggalkan Nendra.

Setidaknya, saat ini Arkan ada dalam pengawasannya. Dia tidak lagi peduli, bila Arkan tidak bisa membantu mencari uang. Dia rasa dia masih mampu mencari dan menambah penghasilan sendiri. Karena lebih baik Arkan tak menghasilkan apa-apa, daripada tetap bekerja tetapi berujung seperti kemarin.

🌵🌵🌵

Ini pertama kali Nendra datang bersama Arkan. Pertama kali, setelah beberapa warga menanyakan status Arkan. Karena yang mereka tahu, adik Nendra hanya tiga. Sedangkan kini Nendra membawa satu orang lagi yang sekilas bagian wajah mereka mirip.

Arkan duduk di kursi tunggu bagian belakang. Mengawasi Nendra yang mulai sibuk menyiapkan alat-alat bengkel. Dia ingin membantu, tapi Nendra melarang. Sungguh, ternyata seperti ini membosankan. Lebih enak mengamen dengan Endi.

"Seriusan adek kamu, Dra?"

Pak Jaka; pemilik bengkel baru saja sampai untuk melihat sebentar kondisi bengkel. Dia sering mendengar nama Arkan. Berberapa kali, dan terakhir itu kemarin saat Leon mengatakan Nendra pulang lebih dulu untuk mencari adiknya.

"Kalau bohong, memang Bapak mau ngambil dia?"

Nendra baru saja mengambil salah satu motor milik pelanggan yang datang. Melirik sebentar kearah Pak Jaya yang kini berdiri di hadapan Arkan.

"Kamu ijinin nggak?"

"Ambil aja, asal semua aset Bapak pindah tangan ke saya. Gimana?"

"Enak saja kamu! Terus saya mau jadi gelandangan gitu?"

Sahut Pak Jaya yang membuat Nendra tertawa. Dia tahu kelemahan Pak Jaya. Semua aset termasuk bengkel ini, menjadi hal teratas yang menjadi kesayangannya.

"Iya Bapak aneh-aneh aja, beneran adek sayalah. Nggak ada pembohongan publik."

Pak Jaya masih menelisik setiap sudut wajah Arkan. Membuat Arkan sedikit risih. Tapi tidak berani berbicara. Hanya tersenyum, dan sesekali menunduk. Memainkan ujung bajunya.

The Reason ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang