Semesta tak pernah ingkar untuk melindungi. Tapi tak pernah berjanji untuk memperbaiki.
Arkan•
•Arkan masih mengikuti langkah Nendra di depannya. Setelah meletakkan motor di bengkel tadi, Nendra langsung menarik Arkan untuk ikut pulang. Belum ada pembicaraan antara mereka berdua. Terakhir, hanya kalimat Arkan yang mengucapkan terima kasih setelah sebelumnya memperkenakan nama. Tapi tidak dipedulikan sama sekali oleh Nendra. Setelahnya, mereka biarkan perasaan mereka yang bergelut mempertanyakan keadaan.
Arkan kira, Nendra akan menaruh dia di panti asuhan. Atau membuangnya di jalanan. Mungkin lebih kejamnya, akan membawa Arkan ke tempat anak-anak jalanan.
Bagaimanapun, Nendra bisa melakukan itu. Atas dasar benci dan dendam yang dia simpan sejak dulu. Tapi pikiran Arkan salah. Nendra membawanya ke salah satu kontrakan satu petak di tengah pemukiman kumuh. Dan Arkan yakini, itu tempat tinggal Nendra.
"Masuk!"
Dingin. Nada suara dan tatapan Nendra masih tidak bisa Arkan tebak. Masih tidak ada binar keteduhan. Tapi mau tidak mau, seperti ini yang harus dia terima.
"Lo tinggal di sini mulai sekarang. Kalau nggak suka silahkan pergi," ucap Nendra, lalu melanjutkan kembali langkahnya.
Arkan mengangguk. Pandangannya tak lepas dari punggung tegap Nendra di hadapannya. Hatinya menghangat. Apa seperti ini rasanya memiliki Kakak?
"Kak? Makasi." Pelan. Namun suara Arkan berhasil membuat Nendra berbalik.
"Gue kayak gini bukan karena gue peduli. Itu yang harus lo tahu! Setelah gue ketemu sama Ayah, gue balikin lo ke dia. Biar gak nambah beban di sini."
Sekali lagi Arkan mengangguk. "Iya," ucapnya pelan.
Jujur saja, kini kepalanya sudah pening akibat disiram oleh Tante Renata tadi. Tapi dia tidak mungkin mengatakan itu pada Nendra. Belum apa-apa saja, dia sudah dianggap beban.
"Loh? Kirain lo di bengkel, Bang. Tumbenan jam segini udah pulang." Suara Endi membuat Arkan dan Nendra kompak menoleh. "Loh? Anak siapa lagi yang lo bawa? Lo nggak lagi nyulik anak orang, kan?"
"Dia..." Nendra menoleh ke arah Arkan yang kini menunduk. "Adek tiri gue."
Endi seketika menoleh kearah Arkan. "Seriusan, Bang? Lo nggak pernah cerita kalau lo punya, hmm adek." Pandangannya menelisik, membuat Arkan sedikit risih. Apalagi dia belum mengenal siapapun di sini. Nendra saja baru dia kenal satu jam yang lalu.
"Nggak penting juga, kan?" Nendra berjalan mendekat. Dia tidak menyangkan bahwa dia akan berlaku seperti ini pada anak dari orang yang dibencinya selama ini.
"Gue mau balik ke bengkel. Lo jaga dia di rumah. Kalau Riski atau Eja pulang, sekalian suruh beli makan siang. Buat kalian berempat aja, gue makan di bengkel nanti. Satu lagi, ada kue dari pelanggan gue tadi. Lo bisa bagi berempat," ucap Nendra sebelum berjalan keluar. Dia tidak tahu perasaan apa ini. Tapi rasanya, melihat wajah itu, membuat bencinya sedikit terusik. Sedikit tak tega.
Hening masih menyelimuti Arkan dan Endi. Masih sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Terutama Arkan, yang masih merasa canggung.
Endi memangkas jarak. Semakin mendekat, hingga melihat bagaimana tangan anak itu sedikit gemetar.
"Lo kenapa? Gue nggak akan jahatin lo kok, tenang aja. Bang Nendra memang gitu, jangan dimasukin hati."
Beberapa detik ucapan Endi seperti melebur bersama udara, hingga Arkan akhirnya mengangkat wajah untuk menatap Endi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason ✔️
Novela Juvenil[Brothership & sick story] "Bila ada yang lebih sakit dari sebuah kebohongan, Nendra yakin itu sebuah penghianatan." Semesta memang tak pernah menjanjikan bahwa hidup bahagia adalah bagian dari takdirnya. Tapi, dia tahu, bagaimana cara mencari baha...