Aku pernah berjanji untuk membuatmu baik-baik saja di hadapan semesta. Dan aku tidak akan ingkar.
Nendra•
•"Aduh! Pelan-pelan, Bang." Endi menyingkirkan tangan Leon yang berusaha membantunya turun dari ranjang. Setelah dirawat semalam di klinik, hari ini Endi diizinkan pulang walau dengan paksaan. Padahal Leon sudah mengatakan akan menanggung biaya perawatannya, yang juga dibantu Rio sebagai permintaan maaf. Tapi Endi tetap tidak ingin dirawat lebih lama. Biayanya akan sangat mahal.
Semalam Leon diberitahu Riski, sepertinya ada masalah pada kaki Endi. Karena anak itu terus mengerang kesakitan setelah insiden dengan Tante Renata.
Setelah dibawa ke klinik, kata dokter yang menangani kemungkinan ada tulang Endi yang retak atau bergeser. Hanya saja, pihak klinik tidak berani memastikan, karena keterbatasan alat. Maka dari itu, Endi di rujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang lebih intensif. Hanya saja, lagi-lagi Endi menolak. Ini bukan masalah berat menurutnya. Walau kakinya kini masih terasa sakit.
"Di, lo serius nggak mau ke rumah sakit? Ini bisa makin parah kalau lo diemin. Tulangnya mana bisa nyatu sendiri kalau nggak lo obatin." Leon masih membantu Endi berjalan pelan dengan tongkat yang diberikan cuma-cuma oleh seorang perawat di sana.
"Bener, Bang. Gue baik-baik aja. Dibawa istirahat pasti sembuh."
"Lain cerita ini, Di. Kalau cuman luka biasa, iya bisa sembuh. Tapi kalau udah masalah bagian dalam, jangan main-main deh," ucap Rio yang sedari tadi berjalan di belakang Endi dan Leon.
Endi menghentikan langkahnya. Dia tahu benar apa resikonya. Bahkan dia tahu apa yang dia rasakan, tahu memang ada yang tidak beres. Tapi dia cukup sadar diri. Membayar klinik saja dia berhutang, apalagi rumah sakit.
"Gue pasti sembuh. Udah nggak usah ribetin lagi. Sekali lagi makasi ya, Bang. Lo berdua jadi gue repotin gini. Masalah biaya, pasti gue ganti nanti."
"Kalau lo ganti, setelah itu gue nggak akan bantu lo lagi!" ucap Leon tegas. "Gue udah bilang, gue yang tanggung. Anggap aja sementara waktu gue yang gantiin Nendra."
Leon tahu dia mungkin tidak akan bisa seperti Nendra yang begitu bertanggung jawab atas hidup ketiga adik asuhnya. Hanya saja, untuk saat ini dia memang sudah berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia akan menjaga ketiga adik asuh Nendra hingga temannya itu kembali.
Eja sudah menunggu di depan kontrakan. Mereka sudah mendapat kabar bahwa Endi akan pulang pagi ini. Sudah hafal juga sifat Endi. Dia tidak mungkin mau berlama-lama berbaring di tempat itu.
"Gimana? Lo nggak apa-apa, kan?" Eja membantu Endi untuk duduk. Meletakkan tongkatnya, sebelum kembali menatap ke arah Endi.
"Aman. Perlu istirahat aja," sahutnya. Dia memang sempat mengatakan pada Leon dan Rio untuk tidak memberitahu Riski dan Eja mengenai kondisinya. Dia tidak mau mereka berdua akan bekerja terlalu keras hanya untuk pengobatannya.
"Bener, Bang?" Eja mengalihkan pandangan pada Leon.
Leon mengangguk. "Makanya jangan dikasi kerja dulu. Kalau dibawa kerja nanti makin parah. Harus istirahat dulu."
"Iya. Jadi sementara waktu, lo kerja berdua aja nggak apa kan?"
Eja menggeleng cepat. "Nggak apa-apa banget. Daripada lo kayak gini lagi. Gue sedih tahu, Di. Tapi gue nggak jago nangis. Jadi ya gimana. Tapi seriusan gue sedih."
Endi tersenyum. "Ututu, Eja bisa sedih juga ternyata. Gue kira bisanya cuman marah-marah," ucap Endi yang dibalas tatapan kesal oleh Eja.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason ✔️
Fiksi Remaja[Brothership & sick story] "Bila ada yang lebih sakit dari sebuah kebohongan, Nendra yakin itu sebuah penghianatan." Semesta memang tak pernah menjanjikan bahwa hidup bahagia adalah bagian dari takdirnya. Tapi, dia tahu, bagaimana cara mencari baha...