Aku tak pernah menyesal, saat semesta menjadikanmu sebagaian dari tetes darahku.
Arkan•
•Bila saja ada hal yang bisa merubah takdir, mungkin Arkan yang ingin menemukan Nendra. Bukan sebaliknya. Arkan ingin Nendra merasakan keadilan, bukan dia yang merasakan kepahitan.
Arkan bertahan hingga pukul enam sore. Padahal pembeli Bang Bobi sedang banyak-banyaknya, namun entah mengapa tubuhnya berulang kali mengatakan menyerah.
Setelah merapikan meja, Arkan menumpu tubuh pada meja disebelahnya. Dunianya berputar, membuat Arkan dengan cepat mencari apapun untuk menahan tubuhnya.
Sial! Seharusnya dia masih bisa bertahan sebentar lagi.
Arkan berusaha berbalik, menghampiri Bang Bobi untuk meminta ijin beristirahat sebentar saja. Setidaknya sampai kepalanya tak lagi terasa berputar.
"Bang --"
Bang Bobi berbalik saat mendengar panggilan pelan dari Arkan. Dan saat pandangannya bertemu dengan anak itu, tubuh Arkan meluruh. Hampir saja menghantam tanah bila saja Bobi tidak segera meraihnya.
"Loh, kenapa, Kan?"
Arkan tak merespon. Kesadarannya hilang sesaat. Karena saat dia kembali merasakan dunia, tubuhnya sudah bersandar di salah satu pohon. Matanya masih berat untuk dibuka. Namun dia bisa mendengar Bang Bobi yang masih terus memanggil namanya.
Dia ingin mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Tapi tenaganya masih belum cukup terkumpul.
"Kan?" Suara Endi masuk dalam pendengaran Arkan. Tidak, seharusnya tidak sampai seperti ini. Seharusnya dia bisa mangatasi tanpa sepengetahuan teman-temannya.
Endi datang karena mendapat panggilan dari salah satu penjual di sama, yang juga teman Bang Bobi. Jadi Endi segera melepas pekerjaannya. Masih merasa bersalah karena pagi tadi dia membuat Arkan kesal.
Sedangkan Riski sudah pergi memanggil Nendra.
"Bang, boleh minta minum?"
Bang Bobi mengangguk, lalu beranjak. Sejak tadi dia sudah ketakutan. Tidak pernah sebelumnya menghadapi situasi seperti ini.
"Buka mata, Kan. Lo denger gue, kan?"
Arkan sedikit mengangguk. Tapi percayalah, matanya sulit untuk dibuka. Seperti mengantuk yang tidak tertahankan.
Endi baru saja meraih gelas air yang diberikan Bang Bobi, saat suara Nendra membuatnya seketika menoleh. Ada raut wajah khawatir yang begitu kentara. Endi tahu, seberapapun Nendra kesal dengan Arkan, dia tidak akan mampu mengabaikan adiknya.
"Kenapa? Kenapa bisa kayak gini?" Nendra meraih gelas air yang Endi bawa. Sebelah tangannya meraih tubuh lemas Arkan. "Denger gue, kan? Minum dulu, ya?"
Sumpah demi apapun, ini pertama kalinya Endi mendengar suara Nendra selembut itu. Tak ada penekanan atas sikap dinginnya. Bila saja dia sedang berada di drama sinetron, mungkin dia akan menangis saat ini juga.
Arkan tak menjawab, tidak juga merespon. Hanya saja saat Nendra mendekatkan gelas air pada mulutnya, dia tidak menolak. Berusaha mati-matian untuk menelan air, walau beberapa kali tersedak karena tenggorokannya seakan menolak.
"Maaf, Bang. Adek gue buat kacau. Besok gue ganti, gue bawa Arkan balik, ya?"
"Harusnya gue yang minta maaf, Dra. Besok upah Arkan gue kasi. Lo bawa pulang dulu aja, biar bisa istirahat."
Nendra hanya balas mengangguk, sebelum menggendong tubuh adiknya. Sempat meminta maaf pada orang-orang di sekitar sana karena sudah membuat rusuh.
"Di, ada uang?" Nendra menoleh pada Endi yang berjalan disebelahnya, yang dibalas anggukan oleh anak itu. "Nitip beli bubur ayam di depan ya? Besok gue ganti. Tadi upah di bengkel lupa gue ambil saking buru-buru. Kalau pakai uang gue sekarang, Arkan pasti nolak. Makanan gue tadi siang aja, nggak mau dimakan kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason ✔️
Novela Juvenil[Brothership & sick story] "Bila ada yang lebih sakit dari sebuah kebohongan, Nendra yakin itu sebuah penghianatan." Semesta memang tak pernah menjanjikan bahwa hidup bahagia adalah bagian dari takdirnya. Tapi, dia tahu, bagaimana cara mencari baha...