Jangan lupa Vote dan Komen gaes❤
Hari Minggu. Hari kebebasan bagi sebagian orang, bebas melakukan apapun, bermalas-malasan dengan rebahan sepanjang hari di dalam kamar. Tapi tidak ada hari seperti itu bagi gadis yang sedang sibuk menyiapkan diri, jarum jam menunjukkan waktu pukul sepuluh pagi sudah waktunya Gebby mengajari Utari di rumah Devano.
"UTA GAK MAU BELAJAR!" teriak Utari menutup pintu rumah keras.
Gebby tidak menyerah ia kembali mengetuk pintu berkali-kali. "KAK GEBBY JERIT DULU DARI LUAR. PAKEEET. PAKEEET. GITU!"
Gebby menghela napasnya berat sepertinya Utari sedang dalam fase gabut makanya jadi tidak jelas seperti ini, dengan berat hati Gebby mengikuti perintah adik kelas sekaligus muridnya. "Paket. Paket."
"YANG KERAAAS!"
"PAKEEET, PAKEEET."
Utari tersenyum cerah kemudian ia membuka setengah pintu rumah Devano. "Maaf mbak salah alamat."
"Gak salah kok mbak," jawab Gebby mengikuti alur drama adik kelasnya.
Utari terkekeh pelan. Gebby bergegas masuk ke dalam rumah sebelum gadis bawel pujaan hati Devano menutup pintunya, kemudian ia membuka buku Utari di atas meja ruang tamu.
Utari menatap malas buku itu. "Kak Ge, Hari ini gak usah belajar dulu ya?"
"Kalau kita gak belajar berarti aku gak dapet uang dong?"
"Tetap dibayar kok."
Gebby menggeleng. "Itu namanya makan gaji buta."
"Gaji kan emang gak punya mata." Utari menguap lebar. "Uta ngantuk."
"Yaudah, iya. Hari ini aja!" putus Gebby mengakhiri perdebatannya dengan Utari. Gebby sangat hapal sifat adik kelasnya, gadis mungil itu mempunyai banyak cara untuk mendapatkan apapun yang ia mau.
"Kak Ge," panggil Utari ragu-ragu. "Kak Ge suka sama kak Theo ya?"
Gebby terbatuk, hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri.
"Kenapa Kak Gebby gak pacaran aja sama kak Theo?"
Gebby tersenyum. "Uta, Theo itu gak sama kayak Devano. Gini, Devano sayang Utari dan Utari sayang Devano. Gak sama kayak aku, aku sayang Theo tapi Theo suka sama yang lain."
"Emang kak Theo suka sama siapa?"
"Gak tau." Gebby mengangkat bahunya.
"Bundaaaa," teriak Utari ketika melihat Anjani dan Niko sudah kembali dari luar kota. Utari berlari-lari kecil menghampiri kedua Orangtua Devano.
"Utaaa." Anjani langsung memeluk Utari.
"Bunda, Uta kangen," ujarnya mencurahkan rasa rindunya.
Devano datang setelah selesai memarkirkan mobil yang ia pakai untuk menjemput Niko dan Anjani langsung mencibir, "Udah kayak gak ketemu satu tahun aja."
"Ehem," seseorang berdehem, "Jangan lupain disini ada orang lho," lanjutnya.
Utari terkekeh pelan, berlari-lari kecil menghampiri lelaki paruh baya yang sudah duduk di sofa bersama Gebby. "Om Nikooooo." Utari memeluk erat Niko dari belakang.
Gebby secara otomatis mengembangkan senyumnya, ia memperhatikan kedekatan Utari dengan keluarga Devano. Hampir setiap Gebby datang ke rumah ini Anjani selalu bercerita banyak hal yang terjadi di masa lalu, tentang persahabatan Anjani dan Ibu Utari. Namun sayang, Tuhan memanggil orangtua Utari saat gadis itu berumur delapan tahun dan setelah orangtua Utari meninggal dunia mereka lah yang merawat Utari.
Kala itu Anjani dan Niko meminta Utari untuk menyebut mereka Mama dan Papa seperti Devano. Namun Utari menolak, karena sebutan itu adalah sebutan untuk orangtuanya. Hanya mereka, dan tidak akan ada orang lain yang ia panggil dengan sebutan itu lalu Utari memutuskan untuk memanggil Anjani dengan sebutan Bunda, dan Niko dengan sebutan Om.
"Om Niko, nanti Uta tidur sama Om Niko boleh, ya?"
"Jangan ganggu bokap gue! Kalau bokap gue tidur sama lo, Nyokap gue mau tidur sama siapa?" ujar Devano sewot.
"Uta gak ngomong sama Pano! Wlee," Utari menjulurkan lidahnya ke arah Devano yang sedang menaiki tangga menuju lantai dua.
Anjani mencium puncak kepala Utari yang sudah duduk di sampingnya. Ikut menonton Tv. "Uta nanti mau kuliah di mana?"
"Uta mau kuliah di tempat kuliah," jawab Utari cepat.
Anjani menggeleng tak habis pikir. Memang benar kata orang, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sahabatnya yang satu itu tidak tanggung-tanggung menurunkan sifatnya kepada Utari. "Bukan itu maksud bunda, sayang." Anjani mengelus rambut Utari lembut.
"Uta gak mau kuliah, ah. Biar Pano aja yang kuliah, terus cari kerja. Nanti Uta mau abisin duit Pano aja."
"Dulu Mama kamu juga bilang gitu." Utari sumringah, ia sangat suka jika Anjani bercerita tentang orangtuanya di masa lalu.
"Iya, dulu juga Mama kamu gak mau kuliah. Tapi Papa kamu bilang kalau Mama kamu gak boleh kalah dari Papa. Setelah itu Mama kamu mutusin buat kuliah, sama seperti papa," Anjani melanjutkan ceritanya.
Utari mengangguk paham. "Kalau gitu, Uta mau kuliah bareng Pano! Biar kaya Mama sama Papa."
Anjani kembali tersenyum. Utari memang harus dijelaskan secara perlahan.
"Kalau kamu Gebby?"Gebby tersenyum kikuk. "Ge mau kuliah di mana aja Tante, sedapatnya aja," jawab Gebby terdengar pasrah menerima kehidupan. Ia sadar sekarang keadaan berbanding terbalik dengan dulu, di masa saat ia dengan mudahnya menunjuk semua yang ia inginkan.
"Mau nya ngambil jurusan apa?"
"Kedokteran."
Senyum Anjani merekah, ia kembali menatap Utari. "Kalau gitu sekarang Uta belajar sama kak Gebby ya?"
Raut wajah Utari berubah masam. Ini yang sangat ia tidak suka, Anjani selalu saja menyuruhnya belajar tambahan. "Bunda Uta capek. Di sekolah belajar, terus di rumah juga belajar, Walaupun sama Kak Gebby tetap aja Uta gak bisa."
"Uta lapeeer," lanjutnya.
"Bunda suruh bibi masak buat Uta, mau?"
"Enggak ah bunda. Uta mau pesan aja," ujarnya kemudian menarik Gebby menuju kolam renang.
Mereka berdua duduk di kursi gantung berukuran besar yang ada di tepi kolam. Hari ini Anjani mengizinkan Utari untuk menunda belajar tambahannya. "Kak Ge kemarin sakit apa?" tanyanya.
"Gak papa, cuma kecapekan," jawab Gebby seadanya.
"Uta sama yang lain panik tau liat Kak Ge tiba-tiba jatuh kayak gitu. Terus kak Theo yang bawa kak Gebby ke rumah sakit."
Gebby menoleh. "Theo?"
Utari mengangguk antusias. "Iya, Kak Theo."
Senyum gebby melengkung sempurna mendengar pertanyaan yang selalu ia tanyakan akhirnya terjawab oleh Utari dan benar dugaannya, Theo lah yang membawa dirinya. Pantas saja sehari setelah kejadian itu Theo mau repot-repot menghampiri dirinya.
💌💌💌
T
B
C

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Datang Lagi, Cinta!
Novela JuvenilFOLLOW SEBELUM MEMBACA Theo Dirgantara. Kehilangan cinta pertamanya, perempuan yang dulu memberinya sebuah diary dan menghilang begitu saja membuat Theo menjadi cowok dingin, ketus, dan pemarah. Theo mengabaikan semua cewek yang mencoba mendekatiny...